SERAYUNEWS – Mulai tahun ajaran 2025/2026, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi menghapuskan tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebagai syarat dalam proses penerimaan peserta didik baru (SPMB) tingkat Sekolah Dasar (SD).
Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Mendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 dan menandai perubahan penting dalam pendekatan pendidikan dasar di Indonesia.
Penghapusan tes calistung dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk memastikan kesetaraan akses pendidikan bagi seluruh anak Indonesia, tanpa membedakan kemampuan akademik awal.
Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Kemendikdasmen, Gogot Suharwono, menegaskan bahwa penerimaan siswa kelas satu SD tidak boleh lagi menggunakan tes apapun, termasuk tes membaca, menulis, maupun berhitung.
Melalui unggahan resmi di akun Instagram @kemendikdasmen, Kemendikdasmen menyatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan lingkungan belajar yang santai dan menyenangkan bagi anak.
Selain penghapusan tes calistung, Kemendikdasmen juga menetapkan aturan baru terkait batas usia pendaftaran SPMB tingkat SD. Aturan ini memberikan ruang lebih fleksibel bagi anak-anak yang belum berusia tujuh tahun untuk tetap dapat mendaftar ke sekolah dasar.
Meskipun prioritas tetap diberikan kepada calon peserta didik yang telah berusia tujuh tahun ke atas, anak-anak dengan usia minimal 6 tahun per 1 Juli tahun berjalan tetap dapat diterima.
Bahkan, dalam kondisi tertentu, anak dengan usia 5 tahun 6 bulan juga dapat mendaftar jika menunjukkan kesiapan khusus. Namun, kecerdasan atau kesiapan psikis tersebut harus dibuktikan secara resmi melalui surat rekomendasi tertulis dari psikolog profesional.
Jika tidak tersedia psikolog, maka surat keterangan tersebut bisa digantikan dengan pernyataan tertulis dari Dewan Guru sekolah asal calon siswa. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah memberikan kelonggaran usia, tetap ada standar evaluasi kesiapan anak untuk mengikuti pendidikan dasar secara formal.
Kebijakan penghapusan tes calistung ini disambut baik oleh banyak kalangan pemerhati pendidikan dan orang tua. Banyak yang menilai bahwa tes calistung di usia dini justru memberi tekanan yang tidak perlu kepada anak, serta mendorong praktik pendidikan yang lebih menekankan hafalan daripada eksplorasi dan pembentukan karakter.
Dengan tidak adanya tes calistung, sekolah dan orang tua diharapkan dapat lebih fokus pada kesiapan psikologis dan sosial anak dalam menghadapi lingkungan belajar yang baru.
Selain itu, pendekatan ini diharapkan mampu mengurangi ketimpangan antara anak-anak dari keluarga dengan akses pendidikan prasekolah dan yang tidak memiliki akses sama sekali.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Implementasi di lapangan perlu disertai pengawasan ketat agar sekolah benar-benar mematuhi aturan ini.
Tak jarang, beberapa sekolah sebelumnya menetapkan tes calistung sebagai ‘syarat tidak tertulis’ demi menyaring murid-murid yang dianggap siap mengikuti pelajaran sejak awal.
Praktik seperti ini harus dihentikan dan diawasi dengan ketat oleh dinas pendidikan setempat.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis perkembangan, pemerintah berharap dapat menciptakan generasi pelajar yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tapi juga seimbang secara emosional dan sosial.
Kini, tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa kebijakan baik ini bisa diterapkan secara konsisten dan merata di seluruh Indonesia.