
SERAYUNEWS- Di tengah keberagaman agama dan budaya, Indonesia kembali dihadapkan pada perdebatan pelik tentang perkawinan beda agama. Secara hukum, negara menjamin kebebasan beragama.
Namun, di lapangan, aturan agama justru menjadi tembok pembatas yang sulit ditembus, terutama bagi pasangan yang berasal dari keyakinan berbeda.
Dosen Fakultas Syariah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Ahmad Zayyadi, menilai kondisi ini sebagai bentuk ketegangan serius antara hak individu untuk memilih pasangan hidup dan norma agama yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia.
Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 sebagai panduan bagi hakim dalam menangani perkara perkawinan beda agama.
SEMA ini hadir karena meningkatnya pengajuan permohonan pernikahan beda agama di pengadilan.
Namun, hingga kini muncul pertanyaan besar: apakah SEMA benar-benar menjadi solusi atau justru menambah kerumitan baru?
Menurut Dr. Zayyadi yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Modern (PPM) el-Mumtaz Purwokerto, hukum di Indonesia menegaskan bahwa pernikahan dinilai sah apabila dilakukan sesuai hukum agama masing-masing pihak.
Kenyataannya, banyak agama di Indonesia tidak mengakui sahnya perkawinan beda agama. Kondisi ini membuat banyak pasangan mencari jalur alternatif, seperti menikah ke luar negeri, atau mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan.
“Perkawinan beda agama sering menghadapi penolakan keluarga hingga stigma masyarakat,” ujarnya.
Pasangan yang memilih jalan ini kerap dianggap melanggar norma agama dan budaya masyarakat. Dampaknya tidak sederhana. Mereka dapat menghadapi: tekanan sosial, penolakan keluarga, hingga persoalan administrasi bagi anak-anak mereka kelak.
Pandangan Ulama: Mayoritas Menolak, Sebagian Mencari Ruang Ijtihad
Ulama memiliki pandangan beragam terkait isu ini. Mayoritas menolak perkawinan beda agama karena dianggap tidak sesuai ajaran agama.
Namun, sebagian ulama mencoba menawarkan pendekatan kontekstual untuk menjawab tantangan sosial yang semakin kompleks.
Indonesia berada dalam posisi dilematis. Negara harus: menjaga harmoni sosial dan menghormati nilai agama, tetapi juga melindungi hak asasi, termasuk hak memilih pasangan hidup tanpa diskriminasi.
Dr. Zayyadi menilai, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 merupakan upaya MA mencari jalan tengah. Meski demikian, kebijakan ini tetap memicu perdebatan luas dari kalangan hukum, akademisi, serta tokoh agama.
Kalangan akademisi memiliki pandangan beragam. Ada yang menyambut baik karena SEMA memberi kejelasan bagi hakim, tetapi ada pula yang menilai aturan ini kurang memiliki dasar filosofis kuat.
Di sisi lain, reaksi masyarakat juga beragam, dipengaruhi latar belakang agama, budaya, serta pemahaman hukum masing-masing. Perkawinan beda agama pun diprediksi akan terus menjadi isu sensitif dan kontroversial.
Menurut Zayyadi, dialog lintas agama, hukum, dan masyarakat perlu dilakukan secara terbuka dan komprehensif. Dengan demikian, Indonesia dapat menghasilkan regulasi yang sesuai realitas sosial, tetap menghormati nilai agama, dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Perkawinan beda agama bukan sekadar persoalan legalitas, tetapi juga mencakup dinamika sosial, budaya, dan keyakinan masyarakat. Pemahaman mendalam diharapkan dapat membawa solusi yang lebih adil dan bisa diterima publik.