Purbalingga, Serayunews.com – Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai polemik mengenai Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) terjadi karena persoalan komunikasi. Disaat UU ditetapkan pemerintah, belum dilakukan sosialisasi menyeluruh. Oleh karena itu, pemerintah diminta segera melakukan komunikasi dengan buruh.
“Karena belum ada sosialisasi yang menyeluruh. Makanya mulai hari ini (Rabu, red) pemerintah juga mulai melakukan sosialisasi,” kata Bamsoet kepada wartawan, usai melaksanakan kegiatan Reses di DPD II Partai Golkar Purbalingga, Rabu (07/10/2020) petang.
Dia menyampaikan, meskipun nantinya akan ada penjelasan resmi dari pemerintah terkait UU tersebut. Dia juga berharap pemerintah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan UU tersebut. Dalam arti UU tersebut tidak mengurangi hak-hak kaum buruh. Sedangkan DPR juga diminta melakukan komunikasi yang bagus, baik dengan pemerintah dan elemen buruh.
“Makanya perlu sosialisasi. Nanti akan ada penjelasan. Harus dijelaskan isi dari UU tersebut. Nanti dicari titik temunya. Dari UU tersebut nantinya pengusaha tidak boleh lagi sewenang-wenang terhadap buruh. Termasuk memberhentikan seenaknya,” katanya.
Menurut Bamsoet, UU Cipta Kerja sepenuhnya bertujuan untuk mempermudah masuknya investasi, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia yang pada akhirnya akan mendongkrak daya saing Indonesia di mata dunia.
“Diluar sana berkembang berbagai propaganda, hoax, misinformasi, maupun disinformasi yang mendeskriditkan UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, ada isu yang menyatakan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMS) dihapus. Padahal tidak seperti itu. Pasal 88 C UU Cipta Kerja tegas menyatakan Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi/UMP (ayat 1) dan dapat menetapkan UMK (ayat 2). Penetapan UMK harus lebih tinggi dibanding UMP (ayat 5),” kata dia
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menekankan, pemberian pesangon tetap menjadi prioritas dalam UU Cipta Kerja. Dalam peraturan sebelumnya, pesangon diberikan sebesar 32 kali gaji. Inipun tak ditaati oleh perusahaan, hanya 7 persen yang taat, karena besarnya beban yang ditanggung. Aturan tersebut justru membuat ketidakpastian hukum bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan juga memberatkan investor yang ingin masuk ke Indonesia.
“Penyesuaian pesangon menjadi 25 kali gaji merupakan hal realistis. Tak memberatkan perusahaan juga tak mengecilkan pekerja. Sehingga bisa menghadirkan win-win solution bagi pengusaha dan pekerja. Kedepannya perusahaan tidak bisa berkilah dengan berbagai alasan untuk tak membayar pesangon. Bahkan dalam UU Cipta Kerja juga terdapat aturan baru perlindungan sosial berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan/JKP (Pasal 18). Keberadaan JKP tak menambah beban pekerja, karena keberadaannya dimaksudkan sebagai up grading dan up skilling serta membuka akses informasi ketenagakerjaan bagi pekerja yang menghadapi PHK,” jelas Bamsoet. (Amin)