SERAYUNEWS – Menjelang musim haji 2025, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi kembali dihadapkan pada persoalan klasik: warga negara Indonesia yang mencoba berhaji tanpa mengikuti prosedur resmi.
Baru-baru ini, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah menemukan 30 WNI yang masuk ke Arab Saudi menggunakan visa ziarah.
Mereka dicurigai akan menjalankan ibadah haji tanpa visa yang semestinya.
Temuan itu terjadi di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, ketika Tim Pelindungan Jamaah (Linjam) mencurigai penampilan rombongan tersebut mirip dengan calon jamaah haji.
Setelah dimintai keterangan, mereka mengaku berasal dari Madura dan membayar sekitar Rp150 juta per orang untuk bisa berangkat. Saat ditanya siapa pihak yang memberangkatkan, mereka memilih diam.
KJRI pun mengimbau mereka agar mempertimbangkan ulang niat untuk berhaji karena visa yang digunakan bukan untuk keperluan haji.
Imbauan ini bukan tanpa alasan. Berhaji menggunakan visa nonresmi melanggar aturan Arab Saudi dan membahayakan keselamatan jamaah itu sendiri.
Di dalam negeri, Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta berhasil menggagalkan keberangkatan 71 calon jamaah haji nonprosedural.
Mereka hendak terbang ke Arab Saudi dengan menggunakan visa kunjungan dan visa kerja, bukan visa haji.
Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Ronald Sipayung, menyampaikan bahwa pengungkapan kasus ini merupakan hasil pengembangan dari kejadian serupa sebelumnya yang melibatkan calon jamaah dari Banjarmasin.
Para calon jamaah tersebut berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Mereka membayar biaya yang bervariasi, mulai dari Rp100 juta hingga Rp250 juta.
Modusnya beragam. Ada yang berangkat secara mandiri, ada juga yang dibantu oleh travel tidak resmi. Tujuan mereka sama: menjalankan ibadah haji, meski tanpa visa haji yang sah.
Visa ziarah adalah jenis visa yang diterbitkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk keperluan kunjungan non-haji.
Biasanya visa ini digunakan untuk berziarah ke makam Nabi, mengunjungi keluarga, atau bepergian ke situs-situs bersejarah. Proses pengajuan visa ini dilakukan secara perorangan melalui agen visa resmi.
Meski dari luar terlihat mirip dengan visa untuk umrah atau haji, visa ziarah sama sekali tidak diperuntukkan untuk pelaksanaan ibadah haji. Tidak ada fasilitas haji yang bisa diakses dengan visa ini.
Anda juga tidak akan mendapatkan jaminan penginapan, transportasi resmi, maupun layanan medis yang disediakan khusus bagi jamaah haji resmi.
Memaksakan diri berhaji menggunakan visa ziarah sangat berisiko. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan sanksi tegas bagi pelanggar aturan ini.
Anda bisa dikenai denda hingga 100.000 riyal Saudi, atau setara hampir Rp450 juta. Selain itu, pelanggar akan dideportasi dan namanya bisa masuk daftar hitam, yang berarti Anda tidak akan bisa masuk ke Arab Saudi lagi dalam waktu yang lama.
Selain ancaman hukum, penggunaan visa nonhaji membuat Anda tidak memiliki perlindungan selama menjalankan ibadah.
Bayangkan menjalani rangkaian haji tanpa transportasi resmi, tanpa akses ke tenda di Mina, dan tanpa pendampingan dari petugas haji.
Di tengah cuaca ekstrem dan jutaan jamaah lain yang datang dari seluruh dunia, situasi ini bisa sangat berbahaya.
Tingginya biaya haji resmi dan lamanya masa tunggu membuat sebagian orang mencari jalan pintas. Namun jalan pintas ini justru bisa berujung bencana.
Banyak yang tergiur tawaran agen atau oknum tak bertanggung jawab yang menjanjikan keberangkatan cepat, meski dengan cara melanggar hukum.
Padahal, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama secara rutin membuka pendaftaran haji resmi.
Selain lebih aman, jalur resmi memastikan jamaah mendapat layanan maksimal dari mulai keberangkatan hingga kepulangan.
Visa ziarah bukanlah tiket untuk berhaji. Meskipun terlihat mudah diakses dan prosesnya cepat, penggunaannya untuk ibadah haji dilarang keras.
Jika Anda benar-benar ingin menjalankan rukun Islam kelima dengan khusyuk dan tenang, ikutilah jalur resmi yang disediakan pemerintah.
Lebih baik menunggu dengan sabar daripada mengambil risiko besar yang bisa merugikan Anda secara finansial, hukum, dan spiritual.***