SERAYUNEWS- Kabupaten Pati tengah menjadi sorotan publik setelah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu gelombang protes.
Bupati Pati, Sudewo, mengklaim langkah kenaikan ini bertujuan meningkatkan pendapatan daerah untuk mendukung pembangunan. Namun, publik menilai kebijakan tersebut memberatkan.
Terutama bagi warga kecil yang tengah berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi. Aksi galang donasi untuk aksi demo menolak kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen hingga kini masih berjalan.
Kontroversi ini semakin memanas setelah Bupati Pati Sudewo dalam sebuah kesempatan mengeluarkan pernyataan yang terkesan menantang warga, jika tak sepakat dengan kebijakannya.
Dia mempersilahkan jika memang mau ada 5.000 warga, atau bahkan 50.000 warga jika ingin berdemonstrasi atas kebijakannya itu. Gaya komunikasi tersebut dianggap arogan oleh sebagian warganet.
Polemik makin rumit ketika Satpol PP membubarkan posko penggalangan dana untuk aksi protes, memicu aksi balasan berupa pengembalian logistik donasi sebagai bentuk kekecewaan warga.
Merespons gelombang kritik, Bupati Sudewo akhirnya meminta maaf secara terbuka.
“Saya minta maaf sebesar-besarnya atas pernyataan saya, ‘5.000 silakan, 50 ribu massa silakan’. Saya tidak menantang rakyat. Sama sekali tidak ada maksud menantang, mosok rakyat saya tantang,” kata Sudewo dalam konferensi pers di Pendopo Kabupaten Pati.
Meski permintaan maaf disampaikan, tensi antara Pemkab Pati dan sebagian masyarakat masih tinggi. Banyak warga menilai kenaikan hingga 250 persen terlalu drastis dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
Meskipun kabar terbaru kebijakan kenaikan PBB-P2 telah Bupati Pati Sudewo batalkan. Pembayaran pajak akan kembali seperti pada Tahun 2024. Hal itu dia ungkapkan dalam konferensi pers Jumat (8/8/2025) pukul 09.38 WIB.
Bagi masyarakat, PBB adalah pajak yang sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari. Pungutan ini dibebankan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan bangunan, seperti rumah tinggal, lahan usaha, atau persawahan.
Namun, pengelolaan PBB di Indonesia tidak sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Berikut kami sajikan ulasan selengkapnya melansir artikel di laman Direktorat Jenderal Pajak RI.
Awalnya, seluruh PBB diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Namun, sejak berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, sebagian kewenangan PBB dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Tujuan pelimpahan ini antara lain:
⦁ Memperkuat otonomi daerah.
⦁ Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan pajak.
⦁ Mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
⦁ Memberikan kewenangan yang lebih luas bagi daerah untuk mengatur pajaknya sendiri.
Berdasarkan regulasi tersebut, PBB terbagi menjadi dua kelompok besar:
⦁ PBB-P2 (Perdesaan dan Perkotaan): dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Objeknya bersifat lokal, tidak berpindah, dan hasilnya dinikmati langsung oleh masyarakat setempat.
⦁ PBB-P5L (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan sektor Lainnya): dikelola oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak. Sektor ini mencakup perkebunan besar, hutan produksi, pertambangan minyak dan gas, panas bumi, mineral, batubara, serta wilayah perairan laut dalam ZEE dan Landas Kontinen.
Masa transisi pengalihan PBB-P2 berlangsung dari 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2013. Daerah yang siap dapat lebih awal memungut PBB-P2 setelah menetapkan Peraturan Daerah (Perda).
Jika hingga akhir masa transisi perda belum dibuat, daerah tersebut tidak boleh memungut PBB-P2.
PBB sektor pusat (PBB-P5L) dibagi lagi ke subsektor spesifik:
⦁ Perkebunan: permukaan bumi perkebunan besar.
⦁ Perhutanan: permukaan bumi kawasan hutan.
⦁ Pertambangan Minyak dan Gas Bumi: onshore dan offshore, termasuk tubuh bumi eksplorasi dan produksi.
⦁ Pertambangan Panas Bumi, Mineral, dan Batubara: onshore dan offshore, termasuk tahap eksplorasi dan operasi produksi.
⦁ Sektor Lainnya: areal perairan untuk perikanan tangkap, budidaya ikan, jaringan pipa, kabel, dan jalan tol bawah laut.
Baik PBB-P2 maupun PBB-P5L menggunakan mekanisme self-assessment. Wajib pajak mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) secara lengkap dan benar.
Setelah itu, pemerintah menghitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar perhitungan pajak terutang.
Metode penentuan NJOP meliputi:
⦁ Perbandingan harga objek sejenis.
⦁ Nilai perolehan baru.
⦁ NJOP pengganti.
Meskipun PBB-P5L dikelola pusat, sebagian pendapatannya dibagikan ke daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022.
Skema ini bertujuan mengurangi ketimpangan fiskal, meningkatkan pemerataan, dan membantu daerah mengatasi dampak eksternalitas negatif.
Kenaikan pajak daerah memang menjadi hak pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD. Namun, langkah tersebut harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama di tengah tekanan ekonomi.
Dalam kasus Pati, lonjakan hingga 250 persen dinilai terlalu besar dan dilakukan tanpa komunikasi publik yang memadai, sehingga memicu resistensi luas.
Banyak pihak menilai bahwa di samping penyesuaian tarif, pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi transparan terkait tujuan penggunaan dana PBB. Jika publik melihat manfaat langsung, potensi penolakan akan jauh lebih kecil.