SERAYUNEWS – Nama Almaz Fried Chicken belakangan mencuat di media sosial. Lantas, siapa pemilik tempat makan tersebut?
Bukan cuma karena rasa ayam gorengnya yang disebut mirip kuliner khas Timur Tengah, tapi juga karena isu tak sedap yang menuding sang pemilik bangkrut dan terjerat utang dari pinjaman online.
Di balik popularitas dan kontroversi itu, tersimpan kisah menarik soal sosok pendiri, perjalanan bisnis, dan misi sosial yang dibawanya.
Almaz Fried Chicken didirikan oleh Okta Wirawan, seorang pria kelahiran Bekasi yang dikenal memiliki latar belakang panjang di dunia ritel modern.
Ia menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, mengambil jurusan Finance Management, dan sempat bekerja selama delapan tahun di PT Trans Retail Indonesia (Carrefour) dengan berbagai jabatan.
Setelah bertahun-tahun menjadi karyawan, Okta memutuskan untuk membangun usahanya sendiri. Ia mendirikan PT Abuya Berkah Abindo (Abindo) pada 2017, perusahaan yang bergerak di sektor kuliner.
Pada 14 Juni 2024, bertepatan dengan hari ulang tahun mendiang ibunya, ia meresmikan Almaz Fried Chicken, restoran cepat saji yang mengusung konsep ayam goreng bumbu rempah khas Saudi Arabia.
Meski menyajikan menu fried chicken seperti banyak restoran cepat saji lainnya, Almaz punya sentuhan berbeda.
Ayam goreng di sini dibumbui dengan rempah-rempah khas Arab Saudi, memberikan rasa gurih dan aroma yang kuat. Pengunjung dapat memilih antara nasi putih atau nasi kebuli sebagai pendamping.
Menu minuman yang disediakan juga unik, seperti susu kurma Saudi Date Milk dan chocomilk Saudia.
Harganya cukup terjangkau, dimulai dari Rp18.000 per porsi. Dari sisi tampilan, gerai Almaz Fried Chicken memang mengusung model restoran cepat saji ala internasional, lengkap dengan desain modern dan pelayanan cepat.
Yang membuat Almaz berbeda dari banyak restoran lainnya adalah komitmennya pada misi sosial.
Lima persen dari keuntungan setiap gerai akan disumbangkan untuk Palestina dan kegiatan amal lainnya.
Dalam beberapa unggahan di media sosial, Okta menyebutkan bahwa Almaz bukan sekadar bisnis, tapi bagian dari “gerakan” yang memberikan alternatif bagi konsumen Muslim setelah banyaknya ajakan boikot terhadap merek global.
Seiring popularitasnya yang naik, muncul tudingan bahwa pemilik Almaz tengah mengalami kebangkrutan dan memiliki utang besar akibat pinjaman online.
Namun hingga saat ini, tidak ada bukti atau laporan resmi yang dapat mengonfirmasi kabar tersebut.
Justru sebaliknya, data proyeksi bisnis Almaz menunjukkan performa keuangan yang cukup sehat.
Paket kemitraan Almaz dibuka mulai dari Rp399 juta. Dalam simulasi proyeksi, mitra berpotensi memperoleh omzet bulanan lebih dari Rp330 juta, dengan laba bersih mencapai Rp94 juta.
Balik modal disebut bisa tercapai dalam waktu tujuh bulan. Dari laba bersih itu, 70 persen diperuntukkan untuk mitra dan 30 persen untuk pengelola.
Bahkan, kontribusi untuk donasi Palestina secara konsisten dimasukkan ke dalam laporan keuangan.
Selain Almaz Fried Chicken, Okta juga diketahui mengelola sejumlah usaha lain.
Beberapa di antaranya adalah PT Sora Abuya Sejahtera dan PT Abuya Bahagia Sejahtera, yang didirikan pada 2023.
Ia juga memiliki usaha bekam alami di kawasan Galaxy Bekasi, Sora Stationary, dan startup TukangSayur.id.
Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun sejak berdiri, Almaz Fried Chicken telah membuka puluhan gerai yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan beberapa daerah di Sumatra.
Perkembangan yang cepat ini menunjukkan bahwa isu kebangkrutan sepertinya tidak selaras dengan kenyataan yang ada.
Meski bertumbuh pesat, Almaz Fried Chicken sempat mengalami kendala dalam proses pengurusan sertifikat halal.
Dalam unggahan pribadinya, Okta mengaku menjadi korban dugaan pungutan liar saat mengurus sertifikasi halal.
Ia mengaku diminta membayar ratusan juta hingga miliaran rupiah oleh oknum yang mengaku bisa “mempermudah” proses tersebut.
Hal ini kemudian dilaporkannya ke pihak berwenang, termasuk ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Kasus ini menjadi sorotan karena menunjukkan masih adanya tantangan dalam birokrasi pengurusan halal di Indonesia.
Namun, langkah Okta untuk melaporkan dugaan tersebut sekaligus menunjukkan komitmen transparansi dalam menjalankan bisnisnya.***