Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, dimana banyak muncul kasus pelanggaran UU ITE, Asian Network For Free Elections (Anfrel) berharap pada Pemilu 2024 nanti penindakan hukum bisa lebih tegas. Sehingga, dapat memberikan efek jera terhadap oknum pendukung ataupun masyarakat yang menyebarkan berita bohong.
Sekretaris Jenderal Anfrel, Kaka Suminta mengungkapkan, pengalaman Pemilu 2019 bisa menjadi evaluasi berbagai pihak. Dari mulai Bawaslu sebagai pengawas pemilu, atau aparat kepolisian yang masuk dalam Sentra Gakkumdu.
“Saya sebagai pemantau, upaya dari kepolisian belum maksimal untuk menghadirkan UU Pemilu Lex Specialist, seringkali terbentur dari sisi prosedur. Sementara materiil saksi sudah cukup, barang bukti cukup, dari sisi proses tidak cukup, contohnya pemanggilan saksi. Hal ini perlu diperkuat kepolisian, karena Bawaslu sendiri tidak punya kewenangan memanggil paksa. Polisi sendiri dalam Sentra Gakkumdu perlu memaksimalkan. Bukan apa-apa tapi untuk efek jera. Karena kalau dibiarkan jadi opini buruk,” kata dia, dalam acara sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pemilu 2024 Bersama Wartawan dan Pegiat Sosial Media Se Kabupaten Banyumas yang diselenggarakan oleh Bawaslu Banyumas, Senin (21/11/2022).
Kaka menambahkan, Bawaslu memiliki peran untuk penyelesaian dan pencegahannya. Karena menurutnya, hingga saat ini ada keterlambatan yang harus diselesaikan.
“Hukum walau menggunakan UU yang sama perlu diperluas semaksimal mungkin sesuai kapasitas dari UU yang ada. Kita ambil contoh dari sisi pencegahan harus maksimal. Dari sisi penegakan hukum di Sentra Gakkumdu, harus maksimal,” ujarnya.
Sementara itu Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Kabupaten Banyumas, Yon Daryono mengatakan, pada Pemilu 2024 dia berharap peran serta dari media mainstream maupun media sosial sebagai partner untuk proses pencegahan, pengawas, dan penindakan.
“Peran media menjadi ujung tombak kami. Medsos minimal bisa membantu kami dalam proses dinamika politik identitas maupun berita hoax,” kata dia.
Sementara untuk pengawasan buzzer, pihaknya tetap mengacu pada UU ITE. Manakala ada laporan maupun temuan, pihaknya akan melakukan tindakan secara cepat.
“Dalam konteks UU ITE yang bisa takedown (berita hoax di medsos) itu perangkat hukum tingkat pusat. MoU yang sudah ada Bawaslu, Kominfo, Dewan Pers, dan KPI itu sudah ada. Kalau di daerah, tentu saja kami tidak bisa melakukan proses takedown, membuat surat rekomendasi ke pihak terkait,” ujarnya.