SERAYUNEWS— Socrates menentang demokrasi, tetapi apa yang dia tentang justru membunuhnya. Pada 15 Februari 399 SM filsuf yang tidak pernah menulis buku ini mendapat hukuman mati dari Kota Athena.
Seperti melansir On This Day, dia mendapat hukuman mati di pengadilan Athena atas dakwaan menyesatkan generasi muda Athena.
Sebuah dewan juri terdiri dari 500 warga Athena memenuhi undangan untuk memutuskan Sokrates bersalah atau tidak. Ternyata, mayoritas menyatakan Sokrates bersalah (280 orang) dan mendapat hukuman mati dengan memaksanya untuk minum racun cemara (hemlok)
Sejak awal, Socrates memang menentang demokrasi dan pemilu. Dia menggambarkan betapa mudah pemilihan umum bisa menyesatkan masyarakat.
Dia pakai contoh dua calon yang terdiri dari dokter dan penjual gula-gula (permen). Sang penjual gula-gula bisa dengan mudah menyesatkan masyarakat untuk memilih dirinya ketimbang sang dokter, dengan melakukan kampanye hitam terhadap sang dokter.
Sang penjual gula-gula bisa menyatakan sang dokter adalah seorang yang memberi pil-pil pahit yang tidak enak rasanya (tentu sambil menutupi kenyataan bahwa pil-pil pahit itu bisa menyembuhkan penyakit). Dia menyarankan masyarakat makan gula-gula yang enak rasanya sambil menyembunyikan kenyataan bahwa gula-gula rawan membahayakan kesehatan dengan menimbulkan kerusakan gigi dan organ tubuh lainnya.
Contoh yang Socrates berikan terbukti benar adanya. Adolf Hitler atau Mussolini merupakan pemimpin dipilih secara demokratis oleh mayoritas rakyat Jerman dan Italia.
Ada dua kritik utama Socrates pada Pemilu, yaitu kurangnya pengetahuan mayoritas dan potensi terjadinya demagog.
Menurut Socrates, rakyat tidak memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk menemukan kebenaran hakiki. Rakyat lebih menyukai permen manis yang berbahaya daripada obat pahit yang menyehatkan.
Kondisi itulah yang para demagog manfaatkan dengan memberi gula-gula berupa janji manis yang menyesatkan.
Dalam KBBI, demagog berarti penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan.
Kata demagog berasal dari dari bahasa Yunani, demos bermakna rakyat dan agogos yang bermakna pimpinan dalam arti negatif. Maksudnya, pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.
Akhirnya kritik Socrates pada pemilu menyeret kita untuk mempertanyakan adagium vox populi vox dei, suara rakyat itu adalah suara Tuhan. Apakah itu benar ?*** (O Gozali)