SERAYUNEWS- Aksi demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 menjadi sorotan nasional.
Unjuk rasa yang awalnya memprotes kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen itu berujung pada tuntutan mundur terhadap Bupati Pati Sudewo.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M. Wildan Humaidi, menilai peristiwa ini menjadi bukti bahwa perumusan kebijakan merupakan “jantung” penyelenggaraan pemerintahan.
Kesalahan dalam proses perumusan kebijakan bukan hanya menggagalkan implementasi, tetapi juga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu tersebut menjelaskan, kenaikan PBB-P2 secara drastis di tengah perekonomian yang belum membaik menjadi faktor utama ledakan protes warga Pati.
“Kebijakan menaikkan pajak dinilai telah merugikan masyarakat Pati, karena kenaikan pajak yang secara drastis tanpa melalui proses perumusan kebijakan yang matang dan secara komprehensif,” jelasnya, Jumat (15/8/2025).
Meski gelombang penolakan sudah disuarakan berbagai elemen masyarakat, pemerintah daerah justru dinilai bersikap konfrontatif. Wildan menyoroti pernyataan Bupati Sudewo yang seolah menantang ribuan massa untuk berdemo, yang kemudian viral di media sosial.
“Berbagai elemen dan masyarakat di Pati sebenarnya telah merespon penolakan kebijakan tersebut, namun sayangnya Pemerintahan Pati, khususnya Bupati Sudewo sebagai kepala daerah tidak memberi respon yang baik, justru sebaliknya melakukan upaya konfrontatif dengan menantang siapa pun yang menolak kebijakannya untuk demo,” jelasnya.
Ucapan Bupati Sudewo seolah-olah menantang lima ribu bahkan lima puluh ribu masa untuk demo atas kebijakannya dan viral di medsos. “Ini telah dinilai masyarakat sebagai upaya perlawanan dan menyederhanakan respon dan aspirasi masyarakat,” beber dia.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, penetapan PBB-P2 menjadi kewenangan pemerintah daerah melalui peraturan bupati.
Namun, Wildan menegaskan, proses perumusan kebijakan semacam itu tidak boleh mengabaikan partisipasi masyarakat. Hal ini, lanjutnya, sudah diatur jelas dalam PP No. 45 Tahun 2017 dan Permendagri No. 120 Tahun 2018.
Aturan ini menyatakan bahwa warga berhak memberikan masukan dalam pembentukan kebijakan daerah, terutama yang berdampak langsung seperti pajak, retribusi, perencanaan pembangunan, perizinan, hingga aturan bersanksi.
“Partisipasi masyarakat adalah keniscayaan dalam negara hukum demokratis. Ia bukan pilihan, tapi konsekuensi logis dari prinsip demokrasi yang kita anut,” tegas Wildan.
Wildan menilai, kebijakan yang baik tidak cukup hanya mengandalkan prosedur formal. Pemerintah perlu membangun komunikasi publik yang tepat, efektif, dan akomodatif terhadap aspirasi masyarakat.
Komunikasi publik yang baik merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar, karena menjadi bagian dari perwujudan demokratisasi kebijakan pemerintah.
“Komunikasi publik yang buruk dapat melahirkan kesalahpahaman, resistensi, bahkan krisis kepercayaan. Demokratisasi kebijakan itu juga tercermin dari cara pemerintah berkomunikasi,” tambahnya.
Menurut Wildan, kericuhan di Pati harus menjadi peringatan bagi seluruh pejabat daerah maupun nasional untuk berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan.
Ucapan yang sembrono dapat memicu kontroversi, dan meskipun disusul permintaan maaf, kepercayaan publik sulit dipulihkan.
“Penyelenggara negara harus bermuhasabah. Jangan sampai pernyataan yang melukai hati rakyat menjadi kebiasaan yang berulang. Kepercayaan publik itu mahal harganya,” pungkasnya.
Wildan berharap momentum ini dijadikan evaluasi serius agar pemerintah lebih bijak dalam merumuskan kebijakan dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat.
“Jika ini menjadi hal yang terus terjadi, proses pemerintahan akan kehilangan kepercayaan publik. Oleh karenanya, ini harus dipahami sebagai momentum yang tepat bagi seluruh penyelenggara pemerintahan untuk bermuhasabah dan mengevaluasi diri,” pungkasnya.