Cilacap, serayunews.com
Karesidenan sendiri merupakan struktur pemerintahan administratif yang berada di bawah provinsi dan di atas kabupaten, yang dipimpin oleh seorang residen. Struktur ini merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda yang masih dipakai hingga era 1950-an.
Sebuah sisa peninggalan karesidenan adalah tanda kendaraan bermotor (pelat nomor). Hingga saat ini pembagian prlat nomor terutama di pulau Jawa masih banyak berdasarkan karesidenan. Bekas Karesidenan Banyumas sendiri sampai saat ini masih menggunakan kode R.
Sejarawan lokal yang juga penulis buku ‘Melawan Lupa Fragmen-fragmen Sejarah Cilacap’, Bangkit Setyo menyebutkan, Kota Cilacap sebagai ibu kota karesidenan bermula ketika wilayah Kabupaten Cilacap yang sebelumnya masuk Karesidenan Banyumas dipecah menjadi sebuah karesidenan pada 1 Juli 1928.
Dengan begitu Karesidenan Banyumas dibagi menjadi dua wilayah, yakni Karesidenan Banyumas Utara berpusat di Banyumas yang wilayahnya meliputi Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Kabupaten Purwokerto.
Serta Karesidenan Banyumas Selatan berpusat di Cilacap yang wilayahnya meliputi Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Karanganyar (sekarang masuk Kebumen).
“Untuk pembagian distrik atau kawedanan (struktur pemerintahan di bawah kabupaten dan di atas kecamatan), Karesidenan Banyumas Utara terdiri dari 10 distrik. Sedangkan Banyumas Selatan terdapat 9 distrik,” katanya kepada serayunews.com, Kamis (18/8/2022).
Menurutnya, berdasarkan catatan Regeerings Almanak Vor Nederlandsch Indie, diketahui Residen Banyumas Selatan hanya dijabat oleh satu orang, yakni W.R March dan didampingi Sekretaris Karesidenan yang bernama F.Th. da Costa.
Berdasarkan catatan yang sama juga, saat pembentukan Karesidenan Banyumas Selatan, Kabupaten Cilacap saat itu dipimpin oleh Adipati Raden Mas Toemoengoeng Tjokrosiwojo, dengan Patih (Sekda) Raden Soegeng.
Selang setahun pembentukan Karesidenan Banyumas Selatan atau pada 1929, terjadi depresi ekonomi dunia yang mengakibatkan pelemahan mata uang dan lesunya ekonomi. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan Malaise.
“Nah pembentukan karesidenan baru ini 1928, kemudian di 1929 ada malaise atau depresi ekonomi yang membuat APBN kolonial Belanda melemah,” ujarnya.
Adanya fenomena ekonomi tersebut, lanjutnya, berdampak pada membengkaknya pengeluaran operasional pemerintahan Karesidenan Banyumas Selatan. Sehingga pada 1930 pemerintah kolonial Belanda memutuskan penggabungan kembali kedua karesidenan tersebut menjadi Karesidenan Banyumas yang berpusat di Banyumas.
Sementara, wilayah Kabupaten Karanganyar dikembalikan masuk ke Karesidenan Kedu. Nasib Karanganyar sebagai sebuah kabupaten akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda dan dimasukkan ke Kabupaten Kebumen pada 1935.
“Karena memang kondisi ekonomi Hindia Belanda saat ini hancur, akhirnya pemerintah memutuskan adanya perampingan dan efisiensi ketat. Termasuk melikuidasi kabupaten maupun karesidenan,” ungkapnya.
Menurut Bangkit, depresi ekonomi yang terjadi di Cilacap saat itu melumpuhkan aktivitas industri, jasa, hingga perkebunan. Salah satu bukti otentik yang dapat diketahui adalah berhenti terbitnya dua surat kabar lokal populer di Cilacap yakni Koran Pantja-Indera dan De Zuidkust di tahun 1930.