SERAYUNEWS – Curhat itu hal yang wajar, bahkan bisa jadi bentuk terapi supaya kamu tidak memendam semua emosi sendiri.
Tapi, pernah nggak kamu merasa suasana jadi canggung atau berat setelah seseorang curhat terlalu dalam?
Hal itu bisa jadi tanda dari trauma dumping—kebiasaan menyampaikan pengalaman traumatis secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan kesiapan atau kenyamanan pendengar.
Trauma dumping sering kali terjadi tiba-tiba dan berlangsung lama, bahkan bisa menyebabkan pendengar merasa kewalahan, kelelahan mental, hingga trauma sekunder.
Meskipun niat awalnya hanya ingin mengekspresikan perasaan, cara penyampaian yang tanpa filter ini bisa berdampak negatif.
Ada beberapa alasan kenapa seseorang bisa terjebak dalam pola trauma dumping, di antaranya:
Kebiasaan ini bisa menjadi pola komunikasi yang melelahkan, baik bagi yang bercerita maupun yang mendengarkan.
Trauma dumping bisa muncul dalam berbagai bentuk dan tempat, misalnya:
Kondisi ini bisa bikin hubungan jadi berat, bahkan memicu kelelahan emosional bagi pendengar.
Kalau kamu merasa pernah melakukan trauma dumping, langkah pertama adalah menyadarinya. Cobalah bertanya pada diri sendiri:
Jika kamu adalah pendengar dan mulai merasa tidak nyaman, kamu juga boleh menetapkan batas. Misalnya:
Kamu juga bisa menyalurkan emosi lewat aktivitas lain seperti:
Yang paling penting, bangun komunikasi yang sehat dan empatik. Berbagi pengalaman itu wajar, tapi penting juga untuk menyadari batasan agar tidak berubah menjadi trauma dumping.
Dengan memahami ini, hubungan yang kamu miliki akan tetap hangat dan saling mendukung—bukan membebani.***