SERAYUNEWS – Dalam tradisi Jawa, berbagai mitos dan kepercayaan seputar pernikahan telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Kepercayaan ini, meski dianggap tidak rasional oleh sebagian orang, tetap dipegang erat oleh masyarakat Jawa sebagai bagian dari budaya dan tradisi.
Oleh karena itu, redaksi akan menyajikan lima mitos yang sering dipercayai dalam masyarakat Jawa terkait pernikahan dan berbagai pantangannya.
Sebelum melaksanakan pernikahan, ada berbagai tradisi adat yang dilalui pasangan Jawa. Salah satu rangkaian yang penting adalah Midodareni.
Tradisi Midodareni adalah malam sebelum hari pernikahan, yang dianggap sebagai malam terakhir kedua calon mempelai menjalani masa lajang.
Tradisi ini diikuti dengan berbagai doa dan restu dari keluarga besar, terutama keluarga calon pengantin perempuan.
Dalam adat Jawa, malam Midodareni dikenal sebagai malam yang sakral, yang menjadi waktu bagi calon pengantin perempuan untuk berdoa agar kelak rumah tangganya bahagia.
Acara Midodareni ini masih sering dilakukan di berbagai daerah di Jawa, seperti di Desa Dero, Kecamatan Bringin, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Dalam tradisi ini, calon pengantin perempuan akan diberikan nasihat dari keluarga serta doa-doa khusus untuk memohon restu dan kebaikan dalam membina rumah tangga.
Tradisi ini juga merupakan simbol bahwa kedua mempelai telah siap memasuki fase kehidupan baru.
Salah satu mitos yang dipercaya dalam masyarakat Jawa adalah larangan menikah jika rumah calon pengantin saling berhadapan.
Kepercayaan ini berakar pada anggapan bahwa pernikahan dengan posisi rumah berhadapan bisa membawa malapetaka bagi kedua mempelai.
Mitos ini menganggap bahwa rumah yang berhadapan memiliki energi yang saling bertabrakan sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan atau kesulitan dalam pernikahan mereka.
Bagi masyarakat yang masih mempercayai mitos ini, solusi yang kerap diambil adalah mengubah posisi pintu rumah agar tidak langsung berhadapan.
Masyarakat Jawa juga mempercayai bahwa bulan Suro, atau Muharram dalam kalender Islam, merupakan waktu yang kurang baik untuk melaksanakan pernikahan.
Bulan Suro dianggap sebagai bulan sakral bagi masyarakat Jawa, yang dipenuhi dengan ritual spiritual dan waktu untuk menghormati leluhur.
Melaksanakan pernikahan di bulan ini dipercaya bisa mendatangkan kesialan dan bencana bagi pasangan.
Oleh karena itu, sebagian besar orang Jawa lebih memilih menunda pernikahan hingga bulan-bulan lainnya yang dianggap lebih membawa keberuntungan.
Perhitungan weton atau hari kelahiran masih sangat dihormati dalam tradisi Jawa. Weton adalah gabungan dari hari pasaran dan hari lahir seseorang dalam kalender Jawa.
Masyarakat Jawa sering menghitung kecocokan antara weton calon pengantin sebelum menikah.
Jika perhitungan weton menunjukkan bahwa pasangan kurang serasi, maka pernikahan tersebut dipercaya bisa mendatangkan halangan atau permasalahan dalam pernikahan mereka.
Karena itu, beberapa keluarga Jawa menggunakan jasa “orang pintar” atau sesepuh untuk memeriksa kecocokan weton sebelum memberi restu pernikahan.
Mitos pernikahan jilu adalah larangan menikah antara anak pertama dan anak ketiga. Menurut kepercayaan, kombinasi ini tidak dianjurkan karena dianggap bawa banyak cobaan dan masalah dalam pernikahan.
Selain itu, perbedaan karakter antara anak pertama yang cenderung bertanggung jawab dan disiplin dengan anak ketiga yang lebih santai dan fleksibel dianggap bisa menimbulkan konflik dalam rumah tangga.
Seperti halnya pada mitos sebelumnya, masyarakat Jawa percaya bahwa cara ini dapat menghindari perbedaan yang berpotensi merusak hubungan pernikahan.
Demikian lima mitos sebelum menikah menurut masyarakat Jawa, lengkap dengan apa yang dilakukan sebelum menikah. Semoga informasi ini bermanfaat untuk Anda.***