SERAYUNEWS – Tiga bulan terakhir, dari Juli hingga September 2025, publik dikejutkan oleh maraknya kasus keracunan massal yang terkait dengan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang awalnya digadang-gadang menjadi solusi peningkatan gizi anak sekolah, justru memunculkan polemik karena menimbulkan risiko kesehatan serius.
Data nasional mencatat total antara 5.000 hingga 6.452 kasus keracunan, dengan Agustus menjadi bulan terparah. Angka ini bukan hanya statistik semata, melainkan cermin adanya persoalan mendasar dalam penyelenggaraan program pangan berskala besar di Indonesia.
Keracunan MBG tidak terjadi dalam satu-dua kasus sporadis, melainkan muncul berulang di berbagai provinsi. Pada Juli 2025, tercatat sekitar 500 hingga 800 anak menjadi korban, dengan insiden menonjol di Nusa Tenggara Timur (SMPN 8 Kupang) dan Kulon Progo, Jawa Tengah. Agustus menjadi titik kritis, dengan perkiraan 1.500 hingga 2.000 anak terdampak. Kasus menyebar luas mulai dari Jawa Barat, Bengkulu, Lampung, hingga Riau.
Bulan September tidak kalah memprihatinkan. Sedikitnya 1.000 hingga 1.500 siswa kembali jatuh sakit akibat konsumsi makanan MBG, di antaranya keracunan massal di Cipongkor (Bandung Barat), Garut, dan Baubau (Sulawesi Tenggara). Secara kumulatif, insiden menyebar di 16 hingga 17 provinsi, menjadikan masalah ini bukan lagi kasus lokal, melainkan krisis pangan berskala nasional.
Gejala yang diderita para korban relatif seragam: mual, nyeri perut, muntah, hingga pusing. Pemeriksaan laboratorium mengonfirmasi adanya kontaminasi bakteri patogen berbahaya seperti Salmonella, E. coli, dan Staphylococcus aureus. Temuan ini memperlihatkan lemahnya kontrol kebersihan, sanitasi, serta manajemen suhu selama proses pengolahan dan distribusi makanan.
Jika ditelusuri lebih dalam, keracunan MBG tidak bisa sekadar dipandang sebagai kesalahan teknis juru masak atau kelalaian sesaat. Pola yang berulang di banyak daerah menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam tata kelola pangan.
Kerangka Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)—standar internasional yang lazim dipakai dalam industri makanan—dapat menjadi acuan untuk menganalisis masalah ini. Prinsip HACCP mencakup tujuh aspek utama: identifikasi bahaya, penetapan titik kendali kritis, batas kritis, monitoring, tindakan korektif, verifikasi, hingga dokumentasi. Sayangnya, hampir seluruh prinsip ini tidak dijalankan dengan disiplin dalam program MBG.
Berbeda dengan sektor hotel dan restoran (HOREKA) yang sudah lama menerapkan HACCP sebagai standar baku, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tampak beroperasi dengan prosedur minim pencegahan. Inilah yang membuat MBG sangat rentan terhadap kontaminasi dan menimbulkan krisis berulang.
Setidaknya ada tiga faktor kunci yang membuat MBG rawan keracunan. Pertama, model logistik yang mengandalkan dapur terpusat menciptakan jeda waktu lama antara proses memasak hingga makanan dikonsumsi siswa. Ketika makanan panas langsung dikemas dalam wadah tertutup, bakteri berkembang biak lebih cepat. Kondisi transportasi yang kurang memadai semakin memperparah situasi.
Kedua, persoalan pengadaan dan kualitas bahan baku patut dipertanyakan. Dengan anggaran program yang sangat besar, muncul dugaan bahwa praktik korupsi dan permainan harga tidak terhindarkan. Pemilihan pemasok yang tidak ketat membuka peluang masuknya bahan dengan kualitas rendah, sehingga risiko kontaminasi semakin tinggi.
Ketiga, kualitas sumber daya manusia di lapangan belum sejalan dengan kebutuhan. Walaupun ada pelatihan dan program sertifikasi, pelaksanaannya tidak merata. Banyak juru masak dan penjamah makanan tidak benar-benar disiplin dalam menjaga kebersihan, mengontrol suhu, serta mengikuti prosedur standar. Alhasil, kualitas pelaksanaan sangat bergantung pada individu, bukan sistem yang kuat.
Melihat skala masalah, pembenahan MBG tidak bisa dilakukan setengah hati. Pemerintah harus melakukan reformasi menyeluruh, bukan sekadar menambah pengawasan di permukaan. Beberapa langkah konkret perlu segera dijalankan.
Pertama, penerapan penuh prinsip HACCP wajib dilakukan di seluruh dapur penyelenggara MBG. Audit harus dilakukan secara ketat, mulai dari proses pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi makanan. Standar suhu dan waktu perlu dipatuhi, termasuk penggunaan kemasan yang sesuai agar makanan tetap aman dikonsumsi.
Kedua, sertifikasi bagi kepala dapur dan koki harus benar-benar diwajibkan. Bukan hanya pelatihan singkat, melainkan program berkelanjutan yang memastikan setiap SDM memahami betul prinsip keamanan pangan. Pengawasan mendadak dan penilaian kinerja berkala juga penting agar standar tidak hanya berhenti di atas kertas.
Ketiga, rantai pasok bahan baku harus diperkuat. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pemasok terpercaya, melakukan audit berkala, serta membuka transparansi anggaran kepada publik. Hal ini penting untuk menutup celah praktik kecurangan dalam pengadaan.
Keempat, sistem pengawasan harus ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi. Laporan digital real-time dapat digunakan untuk memantau kondisi dapur, distribusi, dan pengaduan masyarakat. Tim inspeksi independen perlu diberi kewenangan untuk menutup sementara dapur yang melanggar aturan tanpa menunggu instruksi pusat.
Keracunan MBG adalah tamparan keras bagi program yang sejatinya dimaksudkan untuk menyehatkan generasi muda. Jika tidak segera diperbaiki, kepercayaan masyarakat terhadap program ini akan runtuh, bahkan bisa memicu resistensi sosial.
Oleh karena itu, reformasi menyeluruh sangat mendesak. Adopsi penuh HACCP dapat menjadi solusi jangka panjang, karena terbukti efektif menjaga standar keamanan pangan di berbagai industri. Dengan langkah ini, MBG bisa tetap berjalan sebagai program unggulan pemerintah, tetapi tanpa mengorbankan keselamatan anak-anak.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG bukan hanya soal banyaknya anak yang mendapat makanan bergizi, tetapi juga tentang jaminan bahwa setiap makanan aman dikonsumsi. Tanpa kepastian itu, program ini justru berubah menjadi ancaman kesehatan. Generasi penerus bangsa tidak boleh menjadi korban dari sistem yang lalai.
Artikel ini ditulis oleh: Raharja Tri Kumuda – Praktisi Hospitality***