Purwokerto, serayunews.com
Asal-usul Kalibener ini, diangkat oleh guru-guru SDN 8 Kranji dalam pentas teater yang ditampilkan pada kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan In-House Training siswa, baru-baru ini.
Konon, ada sebuah kisah seorang perampok paling sadis yang bertaubat dengan cara tirakat berendam di Kalibener selama 40 hari 40 malam.
Berikut kisah asal-usul Kalibener gubahan Dalang Jemblung Gaul, Saeran Sasmidi, alias Pak Banjir dalam pentas teater SDN 8 Kranji.
Dahulu kala, saat Purwokerto masih bernama Praketa, hiduplah seorang jawara bernama Ki Wangsa Cemeng.
Ki Wansa Cemeng, memiliki perawakan tinggi besar. Lengannya kekar, dadanya bidang, wajahnya bengis dipenuhi jambang, sepadu dengan sorot matanya yang nyalang.
Dia dikenal sebagai pemimpin komplotan perampok paling bengis, sering membegal para saudagar yang melintas di wilayah Purwokerto atau Praketa.
Suatu hari, melintaslah seorang Kiai bernama Surangalam beserta iring-iringan kereta kuda yang panjang membawa peti-peti besar.
Saat Kiai Surangalam dan rombongan, sedang beristirahat di tepi sungai kecil yang rindang. Tiba-tiba, terdengar gemuruh suara derap kuda yang ternyata adalah kelompok perampok Ki Wangsa Cemeng.
“Hai orang tua, serahkan semua barang-barang yang ada di dalam keretamu itu jika tidak mau nyawa kalian semua melayang,” kata Ki Wangsa Cemeng.
Tanpa diduga, ternyata Kiai Surangalam hanya pasrah dan mempersilakan komplotan perampok itu melucuti harta bendanya.
“Kalau kalian semua butuh barang ini, silakan diambil saja, tidak perlu memakai kekerasan apalagi mengancam hendak membunuh,” balas Kiai Surangalam.
Mendengar ucapan Kiai Surangalam, para perampok tertawa puas sambil membuka peti yang dibawa oleh iring-iringan kereta.
Namun, betapa terkejutnya para perampok itu ketika mendapati isi peti besar itu bukanlah harta atau perhiasan emas picis raja brana, melainkan kain kafan, kapas, minyak cendana serta batu nisan.
Merasa ditipu, Ki Wangsa Cemeng muntab dan menghardik Kiai Surangalam.
“Kurang ajar! Berani-beraninya kau menipuku! Tamatlah riwayatu di sini,” teriak Ki Wangsa Cemeng sembari menghunus parangnya yang berkilat.
Pertikaian pun tak dapat dielakkan, Ki Wangsa Cemeng dan anak buahnya mengepung Kiai Surangalam seorang diri dan berniat untuk menghabisi nyawanya.
Namun, rupanya Kiai Surangalam bukanlah orang biasa. Selain salih, dia juga sakti mandraguna. Tanpa kesulitan berarti, Kiai Surangalam mengalahkan satu-persatu komplotan perampok itu, tak terkecuali Ki Wangsa Cemeng.
Saat semua kompoltan Ki Wangsa Cemeng telah terkapar di tanah, Kiai Surangalam dengan arif bijaksana memberikan nasihat pada mereka.
“Semua peti itu memang isinya adalah keperluan bagi orang yang telah meninggal, bukan harta atau perhiasan, yang dibutuhkan orang ketika meninggal hanyalah kain kafan dan kapas. Kisanak juga nantinya akan mati. Sebelum dipanggil oleh Sang Kuasa, seharusnya kisanak berbuat kebaikan, bukan malah merampok, dan membunuh” sambung Kiai Surangalam.
Mendengar nasihat tersebut, hati Ki Wangsa Cemeng pun tergugah. Berkatalah dia kepada Kiai Surangalam.
“Saya mengakui semua dosa yang pernah saya perbuat, masih bisakah saya bertaubat?” ucap Ki Wangsa Cemeng.
Untuk menguji keteguhan hati Sang Bandit, Kiai Sarangalam lalu memberikan syarat yang sangat berat dengan jalan puasa dan tirakat berendam 40 hari 40 malam di sungai kampung itu.
“Masih ada jalan untuk bertaubat. Namun kisanak harus berpuasa, lalu tirakat berendam di sungai ini selama 40 hari 40 malam,” ujar Kiai Sarangalam.
Syarat itu lalu dilaksanakan oleh Ki Wangsa Cemeng dengan sungguh-sungguh, hingga akhirnya dapat menuntaskan tirakatnya.
Sejak saat itu, Ki Wansa Cemeng benar-benar bertaubat dan menjadi pemuka agama di wilayah Kranji.
Sementara sungai tempat Ki Wangsa Cemeng melakukan tirakat, diberi nama Kali Bener yang artinya sungai pembenaran.