SERAYUNEWS-Walau Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan tidak akan terlibat dalam kegiatan politik praktis sesuai dengan hasil Muktamar 1984, tidak bisa dipungkiri mereka tetap mempunyai pengaruh yang kuat. Termasuk organisasi sayapnya, Muslimat NU yang beberapa hari ini menghiasi banyak media karena hari ulang tahunnya yang ke-78.
Muslimat NU mempunyai akar sejarah yang kuat dengan Banyumas.
Muktamar NU ke 16 pada tanggal 26-29 Maret 1946 di Purwokerto melahirkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945.
Muktamar tersebut juga mendorong berdirinya organisasi sayap perempuan NU pertama bernama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM). Kini organisasi itu bernama Muslimat NU.
Pagelaran Muktamar yang belum genap setahun setelah Indonesia merdeka dinilai cukup fenomenal. Saat itu di NU belum tersedia ruang yang luas bagi jamaah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan.
Sebenarnya, gagasan mendirikan organisasi perempuan NU muncul pada Muktamar ke-13 NU di Menes, Banten tahun 1938.
Melansir dari laman NU Online, pada waktu itu dua tokoh yakni Nyai R Djuaesih dan Nyai Siti Sarah tampil sebagai pembicara di forum tersebut mewakili jamaah perempuan.
Nyai R Djuaesih secara tegas dan lantang menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki.
Ia menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi organisasi NU. Oleh karena itu, tokoh pendiri Muslimat NU adalah ibu R Djuaesih.
Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, Nyai R Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas). Forum menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita dalam organisasi NU.
Setelah Muktamar NU ke 16 di Purwokerto, di Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, Muslimat NU memperoleh hak otonom.
Muktamirin sepakat memberikan keleluasaan bagi Muslimat NU.
Muslimat NU dapat mengatur rumah tangganya sendiri serta memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya di medan pengabdian.