Derby, sematan bagi laga sepak bola antara dua tim sekota, selalu menarik untuk ditonton. Contoh derby adalah ketika Everton akan bertarung melawan Liverpool pada malam nanti atau Inter Milan melawan AC Milan yang juga digelar malam nanti.
Aura derby kadang bukan hanya sepak bola, tapi juga harga diri. Sekalipun, kadang kalau ditelisik lebih jauh, harga diri macam apa juga tak jelas.
Tapi derby seperti penyemangat hidup. Derby adalah aura tentang permusuhan dan kekuasaan. Siapa yang menang di laga derby, maka kota itu akan disemati dengan identitas pemenang. Misalnya, jika Manchester City unggul atas Manchester United, maka akan Kota Manchester akan disebut Manchester membiru.
Sebaliknya, jika Manchester United mampu mengalahkan Manchester City, biasanya Kota Manchester disebut Manchester memerah. Biru dan merah adalah identifikasi dua klub itu berdasarkan warna kebesaran mereka.
Sebenarnya remeh saja, yakni soal bola yang menggelinding dikejar ke sana ke mari. Jika dinalar, kenapa para pemain yang berjumlah 22 orang itu menyusahkan diri mempermainkan satu bola? Kenapa tak masing-masing pemain itu diberi bola sendiri-sendiri, biar sama rata?
Tapi itulah hasrat kompetisi dan berkuasa. Berkuasa, kadang soal aku mendapatkan dia, dan kamu penontonnya. Berkuasa itu soal memperebutkan yang satu dan menihilkan yang lainnya. Sepak bola dan derby telah mengarah pada hasrat berkuasa pada satu bola dan satu kota.
Maka, semangat berkuasa itu adalah semangat mengalahkan. Bahkan, kadang dalam pandangan yang paling ekstrem, semangat berkuasa pilihannya adalah menang atau mati. Sehingga, pertarungan derby adakalanya disebut laga hidup mati, demi harga diri. Harga diri yang sekali lagi kadang jika ditelisik lebih jauh, tak jelas maknanya.
Sepak bola dan derby telah menekankan satu hasrat manusia yang paling purba, yakni berkuasa. Maka, tak ada kisah berbagi ranjang dalam derby. Kita atau mereka, bukan kita dan mereka. Dan sepak bola, derby, berkuasa, itu hanya seperti drama.
Drama yang menggairahkan dengan segala hasratnya. Drama yang bisa memeras air mata dan teriakan tanpa jeda. Ya, hanya drama sesaat. Sebab, setelah pulang dari stadion, setelah televisi dimatikan, setelah euforia itu mengalami titik jenuhnya, semua kembali pada kenyataan senyatanya.
Yang jadi konglomerat akan jadi konglomerat. Yang jadi penjahat kembali jadi penjahat. Yang jadi pendakwah kembali berdakwah. Yang jualan di pasar kembali ke pasar. Semua kembali pada rutinitas yang nyata. Rutinitas yang menjemukan. Sampai pada akhirnya, para penggila bola itu akan kembali berpesta di akhir pekan dengan menanggalkan realitas hidupnya. (kholil)