SERAYUNEWS – Di era ledakan informasi media sosial, profesi jurnalis menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi dituntut cepat seperti medsos, di sisi lain tetap harus menjaga akurasi, etika, dan proses verifikasi yang ketat.
Situasi ini menjadikan jurnalisme arus utama berada di titik krusial perannya sebagai penjaga informasi yang valid dan berimbang.
Perkembangan teknologi membuat masyarakat kini bisa mengakses berita kapan saja dan dari mana saja. Namun, banjir informasi ini juga membawa risiko besar: hoaks, misinformasi, dan disinformasi menyebar tanpa filter.
Ketua PWI Jawa Tengah, Amir Machmud NS, menyoroti perubahan drastis dalam budaya akses informasi masyarakat.
“Kultur mengakses informasi oleh masyarakat, kita rasakan betul, bergerak dan berubah dengan sangat cepat. Mereka lebih menyukai informasi-informasi permukaan, apapun yang diinformasikan platform sosial media, ini dikunyah begitu saja, tanpa berpikir mendalam, tanpa menganalisis,” katanya saat menghadiri acara di Purbalingga, Jumat (18/07/2025).
Berbeda dengan konten kreator, wartawan bekerja dengan standar tinggi: verifikasi, wawancara, konfirmasi, dan penyuntingan. Namun di sisi lain, viralitas konten medsos seringkali “menang cepat”, meski tidak akurat.
Amir menekankan pentingnya media arus utama sebagai penyeimbang:
“Mulai dari anak SD, SMP, SMA, dan masyarakat umum saat ini mengakses informasi dengan cara-cara yang instan. Nah sejatinya peran media mainstream, peran wartawan sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang informasi yang dimunculkan oleh sosial media.”
Rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat membuat publik mudah terpapar narasi palsu dan manipulatif.
Banyak pengguna tidak bisa membedakan mana informasi valid, mana yang hoaks. Ini membuka peluang disinformasi dipakai sebagai alat propaganda.
Amir juga menegaskan bahwa etika jurnalistik menjadi pembeda utama antara jurnalis dan kreator media sosial.
“Etika jurnalistik itu sebagai nurani. Dalam menyuguhkan informasi, edukasi, hiburan, serta berita-berita sebagai kontrol sosial. Tanpa meresapi etika jurnalistik, tak ada beda informasi dari wartawan dengan mereka konten kreator, pengguna sosial media,” katanya.
Wartawan harus melalui proses yang melibatkan editor dan konfirmasi berlapis, sementara konten kreator cenderung hanya ‘meracik’ informasi yang sudah ada, tanpa tanggung jawab verifikasi.
Untuk menjawab tantangan ini, jurnalis dituntut lebih adaptif dan inovatif. Jurnalisme data dan jurnalisme investigasi makin relevan karena memberi kedalaman dan konteks atas isu-isu yang ramai di permukaan. Penguatan pada kemampuan cek fakta, dan penggunaan tools digital verifikasi.
Kolaborasi lintas media adalah langkah penting menjaga ekosistem informasi tetap sehat dan berimbang.
“Produk konten kreator sebenarnya sama, sebagai penyedia informasi. Hanya saja, cara yang ditempuh sangat berbeda. Mereka seakan-akan hanya meracik, merangkai, hanya merakit apa yang dia dapatkan. Dia serap dari berbagai sumber, termasuk media-media yang lain,” tambah Amir.