SERAYUNEWS— Dirty Vote sedang menjadi perbincangan hangat. Apa sebenarnya isi film tersebut?
“Untuk menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma dua, mental culas dan tahan malu,” ujar Bivitri Susanti menutup film yang bikin geger jelang pencoblosan.
Bivitri menganggap desain kecurangan Pemilu 2024 itu biasa-biasa saja. Justru memalukan dan hanya orang-orang yang culas dan tak tahan malu dapat melakukannya.
“Sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah,” ungkapnya.
Film dokumenter ini memuat dugaan kecurangan yang ada dalam Pemilu 2024.
Film ini tak bisa lepas dari nama Dandhy Dwi Laksono, aktivis yang banyak melahirkan film-film dokumenter berkelas.
Produksi film jelang Pemilu bukan hanya kali ini dia lakukan. Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film “Ketujuh”. Pada 2017, Dandhy menyutradarai “Jakarta Unfair” tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, film “Sexy Killers” tembus 20 juta penonton di masa tenang Pemilu 2019.
Film ini tayang pada Minggu (11/2/2024), mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan mereka siarkan pukul 11.00 WIB di kanal YouTube.
Ada tiga tokoh utama yang menguak desain kecurangan pemilu, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiganya menerangkan betapa berbagai instrumen kekuasaan telah orang gunakan untuk tujuan memenangkan pemilu sekalipun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.
Bivitri Susanti mengatakan, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana ada penyalahgunaan kekuasaan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang terpilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” jelasnya (11/2/2024).
Sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan kita biarkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” ujarnya.***(O Gozali)