SERAYUNEWS- Pada momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei 2025, publik Indonesia terkejut dengan pengakuan mengerikan dari sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia (OCI).
Mereka menyampaikan pengalaman pahit selama bekerja, dipaksa makan kotoran hewan, mendapat kekerasan fisik dan psikis, hingga terpisah dari keluarga.
Selain itu juga tak dapat akses pendidikan, tak mendapat perawatan medis saat kecelakaan, hingga tanpa identitas hukum.
Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. Tyas Retno Wulan, menyebut kasus ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Menurutnya, hal ini bukan hanya soal eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi martabat manusia.
Tragedi yang menimpa para pekerja sirkus tersebut hanyalah satu dari banyak potret suram dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Data dari laman Satu Data Ketenagakerjaan menunjukkan lonjakan tajam jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) pada awal 2025.
Hingga Februari, tercatat 18.610 pekerja menjadi korban PHK massal, naik drastis dari 3.325 kasus pada Januari.
Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah paling terdampak, dengan menyumbang sekitar 57,37% dari total PHK nasional. Situasi ini menunjukkan rapuhnya sistem ketenagakerjaan nasional dalam menghadapi tekanan ekonomi dan industri.
Di tengah gempuran masalah ketenagakerjaan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih mandek di parlemen sejak dua dekade lalu.
Padahal, Indonesia memiliki sekitar lima juta pekerja rumah tangga, mayoritas perempuan, yang sangat rentan terhadap eksploitasi.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat 3.308 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga antara 2021 hingga Februari 2024.
“Ini pun merupakan data yang dilaporkan, sehingga jumlah kasus yang sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi,” kata Dr. Tyas menyoroti urgensi pengesahan RUU tersebut.
Pekerja migran Indonesia yang berjumlah sekitar 6,2 juta jiwa juga menghadapi tantangan serupa. Kekerasan seksual, perdagangan manusia, hingga perlakuan tidak manusiawi menjadi ancaman nyata bagi para pahlawan devisa ini.
“Negara harus hadir, tidak hanya lewat retorika tetapi dengan kebijakan konkret yang memberikan perlindungan nyata,” ujar Dr. Tyas menambahkan.
May Day bukan sekadar seremonial tahunan. Momentum ini memiliki akar sejarah perjuangan kelas pekerja yang menuntut keadilan, dimulai dari Amerika Serikat abad ke-19.
Insiden Haymarket di Chicago pada 1886 menjadi titik balik yang menandai pentingnya perlindungan terhadap hak buruh.
Di Indonesia, peringatan Hari Buruh seharusnya menjadi alarm bagi negara untuk merevisi regulasi yang merugikan pekerja seperti Undang-Undang Cipta Kerja, dan segera mengesahkan RUU PPRT.
Selain itu, negara juga perlu menjamin hak atas upah layak, lingkungan kerja aman, jaminan sosial menyeluruh, serta perlindungan dari PHK sepihak dan kekerasan di tempat kerja.
Keterlibatan mahasiswa dalam berbagai aksi May Day tahun ini memperkuat pesan bahwa isu buruh bukan hanya urusan serikat pekerja, melainkan kepentingan nasional yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Pemenuhan hak-hak pekerja di Indonesia masih seperti jalan panjang yang penuh ranjau. May Day adalah saat yang tepat untuk mengingatkan negara agar tidak abai.
“Hingga kini, pemenuhan hak-hak pekerja di Indonesia masih seperti jalan terjal yang penuh rintangan,” tutup Dr. Tyas.