SERAYUNEWS- Presiden Prabowo Subianto mengguncang jagat ketenagakerjaan nasional dengan pernyataan tegasnya: outsourcing bakal dihapus.
Hal ini dia umumkan secara langsung pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, di hadapan puluhan ribu buruh yang berkumpul di Kawasan Monas Jakarta.
Pernyataan tersebut sontak menjadi angin segar bagi kalangan pekerja. Namun sekaligus memicu pertanyaan besar: bagaimana nasib jutaan pekerja alih daya (outsourcing) di Indonesia?
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan informasi seputar dunia outsourcing mengapa menjadi kontroversi.
Outsourcing adalah sistem kerja di mana perusahaan mempekerjakan tenaga kerja dari pihak ketiga (vendor) untuk melaksanakan fungsi tertentu seperti kebersihan, keamanan, hingga tenaga administrasi.
Meski efisien bagi perusahaan, praktik ini kerap dikritik karena dianggap melemahkan perlindungan hak-hak pekerja.
Pekerja outsourcing sering tidak mendapatkan jaminan kerja yang stabil, upah layak, dan fasilitas kesejahteraan yang setara dengan pegawai tetap.
Mereka juga rawan terkena pemutusan kontrak sepihak tanpa kompensasi memadai.
Dalam orasinya, Prabowo menyatakan, pemerintah ingin menghapus sistem outsourcing. Pihaknya ingin memberikan keadilan untuk para buruh.
Akan tapi, pemerintah harus melakukannya dengan hati-hati, agar tidak mengganggu perekonomian nasional.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden Prabowo akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, yang terdiri dari pimpinan serikat buruh se-Indonesia.
Dewan ini akan menjadi mitra strategis presiden dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan, termasuk transisi dari sistem outsourcing ke sistem kerja tetap.
Menteri Ketenagakerjaan RI, Yassierli, menyambut pernyataan Prabowo sebagai arahan strategis.
Ia menegaskan bahwa kementeriannya sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang akan mengatur pelaksanaan penghapusan outsourcing, dengan tetap memperhatikan dinamika pasar tenaga kerja dan kebutuhan dunia usaha.
Sementara itu, DPR RI melalui Komisi IX menyarankan agar penghapusan difokuskan terlebih dahulu pada sektor-sektor rawan eksploitasi, seperti keamanan dan cleaning service, sembari melakukan kajian menyeluruh terhadap sektor lain.
Charles Honoris, Wakil Ketua Komisi IX DPR, menegaskan mendukung perlindungan buruh, tapi perlu ada keseimbangan dengan kepentingan pelaku usaha agar tidak terjadi gejolak PHK massal.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus bahwa ketentuan outsourcing harus diatur secara eksplisit dalam undang-undang, bukan hanya lewat peraturan menteri.
MK menekankan pentingnya kepastian hukum dalam mendefinisikan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dialihdayakan dan hak-hak pekerja outsourcing.
Artinya, kebijakan Prabowo harus dikawal lewat revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan atau pembentukan undang-undang baru agar tidak bertabrakan dengan keputusan MK.
Penghapusan outsourcing jelas berdampak besar bagi para pekerja alih daya. Berikut adalah tiga kemungkinan skenario ke depan:
Perusahaan pengguna jasa outsourcing dapat diwajibkan merekrut langsung para pekerja outsourcing yang telah lama mengabdi.
Ini akan meningkatkan kesejahteraan pekerja, tapi juga berpotensi menambah beban keuangan perusahaan.
2. PHK Massal
Jika perusahaan tidak mampu atau tidak mau menyerap pekerja outsourcing, maka potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal terbuka lebar.
Tanpa skema transisi yang jelas, hal ini dapat memperparah angka pengangguran.
3. Kontrak Langsung Tanpa Outsourcing
Alternatif ketiga adalah membolehkan kontrak langsung antara pekerja dan perusahaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Model ini tetap memberikan fleksibilitas bagi perusahaan, namun menjamin hak pekerja lebih baik dibanding outsourcing.
Kebijakan ini menghadapi tantangan besar, yakni menyeimbangkan antara perlindungan buruh dan kelangsungan usaha.
Para pelaku usaha mengingatkan bahwa penghapusan outsourcing secara tiba-tiba bisa mengganggu efisiensi dan iklim investasi.
Karena itu, Presiden Prabowo menekankan bahwa langkah ini akan dilakukan bertahap, dengan skema transisi yang matang dan berbasis dialog antara pemerintah, buruh, dan pengusaha.
Rencana penghapusan sistem outsourcing oleh Presiden Prabowo Subianto adalah langkah progresif dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Namun, realisasinya membutuhkan dukungan regulasi yang kuat, perencanaan matang, serta kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan.
Nasib pekerja outsourcing berada di persimpangan jalan. Jika kebijakan ini berhasil diterapkan secara adil, maka akan lahir sistem ketenagakerjaan yang lebih manusiawi, produktif, dan berkelanjutan.