SERAYUNEWS- Golput masihkah ada? Di Pemilu 2019, suara tidak sah tercatat 17,5 juta atau 11,12%. Jelas ini mengejutkan karena jumlah tersebut menempati urutan keempat perolehan suara partai politik setelah PDIP, Gerindra, dan Golkar.
Apakah suara tidak sah tersebut berarti Golput? Devi Darmawan, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengidentifikasi orang-orang yang memilih untuk tidak memilih alias golput pada pemilu sebelumnya adalah mereka yang punya ideologi sendiri.
Meskipun golput, mereka akan tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu merusak surat suara dengan cara mencoret atau apapun sehingga tidak sah.
“Jadi, mereka bukan orang-orang yang malas ke TPS. Karena dalam demokrasi, kita tidak memilih orang terbaik tapi memilih orang yang punya kapasitas lebih di antara calon yang ditawarkan lewat nominasi kandidat,” jelas Devi (26/1/2024).
Lantas bagaimana dengan Pemilu 2024? Devi memprediksi angka golput berada di kisaran antara 18%-20%.
Semua berupaya agar golput dapat berkurang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun keluarkan fatwa haram terhadap Golput sejak 2009.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, M. Cholil Nafis, menyatakan, “Masyarakat yang golput atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram.”
Tak cuma itu, apabila masyarakat tidak memilih salah satu dari calon presiden, Indonesia bisa kacau.
“Dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama II se-Indonesia pada 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama,” kata Cholil, seperti dilansir dari MUIDigital (16/12/2023).
Bahkan, Cawapres Mahfud MD mengatakan anak muda yang masuk golput alias tidak memilih dalam Pemilu 2024 merupakan pribadi yang matang dalam berpikir dan bersikap (7/12/2023).
Kebalikan dengan Mahfud MD, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahriz, mengatakan pemilih golput di Indonesia cenderung orang yang sangat teredukasi secara politik.
Mereka, katanya, sangat paham peta politik dan jejak para pasangan calon.
“Seperti isu oligarki menyebabkan orang-orang itu kadang tidak memilih. Jadi, mereka itu terpelajar,” jelas Nicky (19/12/2023).
Mengutip dari laman resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan posisi seseorang yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu bukan merupakan pelanggaran hukum. Sebab tak ada satu pun pelangaran aturan hukum.
“Ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput,” bunyi keterangan ICJR.
Franz Magnis Suseno telah lama mengamini pendapat ICJR, Golput bukan soal hukum melainkan masalah moral. Tokoh filsafat yang biasa dipanggil Romo Magnis menulis di sebuah harian nasional 12 Maret 2019.
“Bukan wajib secara hukum, melainkan wajib secara moral. Kalau Anda, meskipun sebenarnya dapat, tetapi Anda memilih untuk tak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, just stupid; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang psycho-freak,” tulis Romo Magnis.
Lantas bagaimana dengan 2024 ? Menurut Devi, jika hasil di Pilpres nanti jumlah golput sama dengan perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres, artinya masyarakat sudah jenuh atau muak terhadap penyelenggaraan pemilu.
Golput akan berdampak buruk terhadap legitimasi pemilu, lantaran pemilihan umum tidak memiliki dukungan yang signifikan.*** (O Gozali)