SERAYUNEWS– Penetapan Hari Musik Nasional adalah berdasarkan tanggal lahir Wage Rudolf Supratman (W. R. Supratman) pada 9 Maret 1903.
Lagu Indonesia sempat dianggap menjiplak lagu populer Belanda berjudul Pinda Pinda Lenka Lenka. Pengamat musik Kaye A Solapung membantah dan membuktikan bahwa lagu Indonesia Raya itu orsinil. Menurutnya, Indonesia Raya hanya memiliki persamaan delapan ketuk begitu juga dengan penggunaan kord yang jelas berbeda dengan Pinda Pinda Lenka Lenka.
Alangkah sedihnya Supratman jika tahu lagu ini dianggap jiplakan. Perjuangan menulis lagu kebangsaan ini sangat panjang dan berliku.
Awalnya, Supratman hidup penuh hura-hura, berkencan, berfoya-foya bersama sinyo-sinyo Belanda karena ketenaran sebagai pemain biola Black White Jazz Band. Ia kemudian tertarik dalam bidang politik, gemar mengikuti pelbagai pidato dan bacaan politik, terutama koran Pemberita Makasar.
Lahirlah hasrat untuk membuat lagu kebangsaan. Namun, ide membuat lagu kebangsaan buntu. Sampailah ia pada kesimpulan, lagu kebangsaan tidak mungkin bisa terwujud tanpa bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakkan.
St. Sularto menulis dalam buku Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah di Majalah Prisma edisi 5 Mei 1983 menulis, WR Supratman, sang pencipta lagu Indonesia Raya, memang sangat yakin bahwa untuk dapat menciptakan lagu kebangsaan, ia harus terlibat dan melebur ke dalam perjuangan, serta bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Berbekal biola, dia memutuskan hijrah dari Makasar. Tujuan awalnya Bandung sebagai epicentrum pergerakkan anak muda. Sesampainya di Surabaya dia memutuskan tinggal sementara di kota itu dan bergabung dengan Kelompok Studi Indonesia.
Pada akhir 1924, ia ke Cimahi dan bekerja sebagai reporter Koran Soeara Moeda. Supratman juga mengikuti kursus kader politik Kelompok Studi Umum yang Sukarno buat.
Karena gaji kecil dari Soeara Moeda tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup, ia pindah ke Biro Pers Alpena (Algemene Pers Niews Agency) sebagai reporter dan editor.
Pekerjaannya di Alpena tak berlangsung lama. Kondisi ekonomi perusahaan yang seret membuatnya harus hengkang. Ia lantas bergabung di surat kabar Sin Po. Di sini, kehidupannya jauh lebih membaik. Keuntungan lain, ia bisa dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti M. Tabrani, Sugondo Djojopuspito, dan Sumarso.
Keinginan Supratman bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakkan perlahan terkabul. Sampai akhirnya dia mendapat penugasan untuk meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 30 April–2 Mei 1926. Dari sinilah keinginannya untuk membuat lagu perjuangan kembali muncul.
Niat itu dia sampaikan ke M. Tabrani, “Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diucapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Terutama Pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu saya akan buat. Namanya Indonesia Raya.”
Selesai kongres, Supratman membuat konsep lagu kebangsaan dalam not balok dan not angka, terdiri dari tiga kuplet dengan bait ulangan dan irama lagu 6/8. Lagu ini selesai dengan judul Indonesia Raya.
Menjelang Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, di Batavia, ia kembali bertugas untuk meliput. Kali ini keinginannya tak cuma menulis berita, tetapi ingin membawakan lagu Indonesia Raya. Atas inisiatifnya sendiri, ia menyebarkan salinan lagu itu kepada para pimpinan organisasi pemuda. Gayung bersambut. Lagu tersebut mendapat sambutan hangat.
Sugondo, yang waktu itu memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, mengizinkan Supratman membawakan lagu tersebut pada jam istirahat. Dengan catatan hanya instrumennya saja. Sugondo takut karena ada kata merdeka di lagu tersebut, acara akan Belanda boikot.
Jam istirahat tiba, Supratman maju, membawakan lagu Indonesia Raya versi instumental. Semua peserta kongres tercengang. Mereka terharu mendengar gesekan biolanya. Itulah kali pertama lagu Indonesia Raya berkumandang.
Indonesia Raya untuk kedua kalinya berkumandang di akhir bulan Desember 1928 saat pembubaran panitia kongres kedua. Pada kesempatan itu, untuk kali pertama, lagu tersebut berkumandang dengan iringan paduan suara.
Ketiga kalinya, lagu berkumandang saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929. Para peserta berdiri dan bernyanyi mengikuti kur dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan kepada lagu itu.
Indonesia Raya semakin populer, sampai akhirnya Pemerintah Kolonial mengeluarkan larangan pada 1930. Supratman sempat ditahan sebentar dan diinterogasi soal maksud lirik merdeka, merdeka, merdeka.
Tak lama kemudian, Supratman ditahan lagi setelah menciptakan lagu Matahari Terbit. Belanda beranggapan Supratman ikut memuji Dai Nippon.
Akhirnya, sekeluar dari penjara Supratman sakit.
Kepada kakak iparnya, Oerip Kasansengari, Supratman berkata, “Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka.”
Pada 17 Agustus 1938, Supratman tutup usia. Pemakaman jenazahnya berlangsung di Kuburan Umum di Jalan Kejeran Surabaya, dengan jumlah pelayat tak lebih dari 40 orang.*** (O Gozali)