SERAYUNEWS— Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tiap 8 Maret bermula dari aksi demonstrasi buruh perempuan di New York, Amerika Serikat pada 1857. Mereka menuntut kesejahteraan di tempat kerja dan kenaikan upah.
Protes serupa muncul kembali di New York tahun 1908, ketika ribuan buruh menuntut pengurangan jam kerja dan hak politik mereka sebagai perempuan.
Dua tahun setelah protes besar di New York, Clara Zetkin yang aktif di Partai Sosialis Jerman mengusulkan untuk menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan. Konferensi Kaum Sosialis Internasional di Swiss menerima usulan itu.
Para delegasi yang mewakili 17 negara dan terdiri dari lebih 100 peserta perempuan menyepakati usulan tersebut. Pada 8 Maret tahun 1975, PBB untuk pertama kali merayakannya.
Di Indonesia, perayaan Hari Perempuan Sedunia hanya diperingati oleh beberapa organisasi perempuan. Di awal Indonesia merdeka, 8 Maret tak sepopuler sekarang.
Tahun 1950-an justru organisasi-organisasi perempuan sosialis yang merayakan 8 Maret. Bahkan Kongres Perempuan Indonesia KWI baru memperingati 8 Maret pada 1966.
Tuntutan perempuan soal pemenuhan hak pun mereka suarakan tiap perayaan Hari Perempuan Sedunia. Pada peringatan tahun 1954, misalnya, para perempuan menekankan tuntutan pada hak dalam perkawinan, moralitas, serta masalah lain yang perempuan hadapi.
Presiden Sukarno ikut menaruh perhatian terhadapnya. Pada 1965, Sukarno menghelat peringatannya di Istana Negara sekaligus menyampaikan amanat dengan judul Tidak ada Kompromi dengan Nekolim.
Bergantinya rezim ikut mengubah nasib peringatan 8 Maret. Waktu era Sukarno itu ada Gerwani sebagai satu-satunya gerakan perempuan yang sangat politis.
Ketika Soeharto naik, Gerwani diberangus. Masuk dalam genosida 1965 dan saat itu juga generasi feminis banyak yang hilang oleh tuduhan PKI.
Pengaruhnya ke peringatan Hari Perempuan Sedunia. Order Baru yang menganggap peringatan ini berbau komunis. Kemudian, Orde Baru merumuskan perempuan ideal dalam Panca Dharma Wanita.
Lahirlah ideologi Ibuisme negara, ideologi gender yang memosisikan istri sebagai pendamping suami sekaligus ibu rumah tangga yang salah satu tugas utamanya adalah mengurus dan membesarkan anak. Tugas utama tersebut tertuang dalam Panca Dharma Wanita.
Melalui Dharma Wanita, Orde Baru berupaya melanggengkan nilai-nilai patriarki dan menundukkan rakyatnya hingga unit terkecil, yaitu keluarga dan lebih khususnya lagi perempuan, dalam sistem komando seperti dalam militerisme.
Orde Baru akhirnya tumbang, perayaan Hari Perempuan Sedunia baru terdengar lagi ketika Seruan Perempuan Indonesia (SERUNI) mengadakan Doa antar-Iman sebagai upaya peringatan Hari Perempuan Sedunia pada 1998.
Pemerintah juga ikut merayakannya, perempuan mulai mendapatkan tempatnya lagi. Sayangnya, walau berbagai suara perempuan tentang upaya penghapusan diskriminasi sudah suarakan, hingga kini kesetaraan gender di Indonesia masih sangat rendah.
Indonesia menempati posisi ke-87 dari 146 negara dan peringkat ke 6 dari 10 negara ASEAN dalam hal kesetaraan gender.*** (O Gozali)