
SERAYUNEWS – Setiap pengujung bulan Desember, masyarakat di berbagai belahan dunia bersiap menyambut pergantian tahun dengan penuh kemeriahan.
Pesta kembang api, bunyi terompet, hingga kerumunan massa menjadi pemandangan umum di Indonesia.
Namun, bagi umat Muslim, fenomena ini seringkali memicu pertanyaan mendalam: bagaimana sebenarnya hukum merayakan tahun baru Masehi dalam perspektif Islam?
Mengingat tradisi ini tidak berakar dari ajaran Islam, penting untuk menelaah pandangan para ulama agar tidak terjebak dalam kekeliruan.
Untuk memahami duduk perkara hukumnya, kita perlu menilik sejarah. Ustadz Abdul Somad (UAS) menjelaskan bahwa sistem penanggalan Masehi yang kita gunakan hari ini berakar dari kalender Julian yang diperkenalkan oleh Julius Caesar pada 45 SM.
Seiring berjalannya waktu, Paus Gregorius XIII menyempurnakannya menjadi kalender Gregorian untuk memperbaiki akurasi waktu.
Meskipun kalender ini kini menjadi standar sipil internasional di bawah PBB—termasuk digunakan di Indonesia untuk keperluan administrasi dan jadwal harian—akar sejarahnya tetap memiliki keterkaitan erat dengan tradisi Barat dan Romawi kuno.
Dalam menyikapi fenomena ini, para ulama memiliki spektrum pandangan yang beragam, mulai dari yang mengharamkan hingga yang memberikan kelonggaran dengan syarat ketat.
1. Pandangan yang Melarang (Aspek Ritual dan Tasyabbuh)
Ustadz Abdul Somad menekankan perbedaan antara penggunaan alat dan partisipasi dalam ritual.
Menurut beliau, menggunakan kalender untuk administrasi hukumnya boleh. Namun, ketika seseorang mulai terlibat dalam ritual seperti meniup terompet atau menyalakan kembang api, hal itu dianggap telah masuk ke dalam ranah tasyabbuh (menyerupai tradisi agama lain) yang dilarang.
Larangan ini semakin kuat jika perayaan disertai dengan aktivitas yang melanggar syariat, seperti ikhtilat (campur baur pria-wanita) atau perilaku mubazir.
2. Pandangan yang Membolehkan (Aspek Budaya dan Sosial)
Di sisi lain, terdapat pandangan yang lebih longgar. Mengacu pada informasi dari Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat bahwa merayakan atau memberikan ucapan selamat tahun baru Masehi pada dasarnya bukan hal yang mutlak diharamkan.
Syaratnya, kegiatan tersebut harus murni bersifat sosial-budaya, dilakukan dengan kesederhanaan, tetap menjaga ketertiban umum, dan tidak mengandung unsur kesyirikan atau kemaksiatan.
Pihak Kemenag juga mengingatkan adanya potensi mudharat atau dampak negatif yang sering muncul saat malam pergantian tahun. Beberapa hal yang harus diwaspadai antara lain:
Secara garis besar, mayoritas otoritas agama di Indonesia menyarankan agar umat Muslim lebih bijak dalam menyikapi tahun baru.
MUI menekankan bahwa perayaan boleh dilakukan selama tetap dalam bingkai menghormati nilai-nilai agama dan lingkungan sekitar.
Alangkah lebih baik jika momen pergantian tahun dijadikan sebagai waktu untuk bermuhasabah (introspeksi diri) atas amal ibadah selama setahun terakhir, daripada larut dalam euforia yang menjauhkan diri dari syariat.
Demikian informasi tentang hukum merayakan tahun baru bagi umat Islam.***