SERAYUNEWS – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur secara resmi menetapkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 mengenai penggunaan sound horeg.
Fatwa ini disahkan sebagai respons atas semakin meluasnya fenomena hiburan keliling yang menggunakan perangkat suara dengan volume sangat tinggi dan kerap kali menimbulkan keresahan masyarakat.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, dalam keterangannya pada Selasa (15/7/2025) menjelaskan bahwa fatwa tersebut dirumuskan setelah mempertimbangkan berbagai aspek sosial, syariah, serta dampak negatif dari penggunaan sound horeg.
Dalam fatwa ini, MUI Jatim menyampaikan enam poin penting yang menjadi dasar hukum atas penggunaan perangkat tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Miftahul Huda, menegaskan bahwa fatwa tidak cukup menjadi satu-satunya solusi atas fenomena sound horeg. Ia menilai perlu ada tindak lanjut konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum.
Menurutnya, aktivitas ini sudah banyak dikeluhkan masyarakat karena mengganggu ketertiban hingga menyebabkan kerusakan seperti pecahnya kaca rumah dan polusi suara yang berpotensi mengganggu pendengaran.
Keresahan masyarakat dipicu oleh tiga alasan utama: pertama, volume suara yang sangat keras mengganggu ketenangan; kedua, adanya unsur kemungkaran seperti joget tak senonoh, pergaulan bebas, bahkan konsumsi alkohol; dan ketiga, adanya dampak negatif terhadap moral anak-anak yang ikut menonton hiburan tersebut.
Pertama, MUI Jatim menilai bahwa pemanfaatan teknologi audio modern dalam aktivitas sosial, budaya, atau keagamaan merupakan hal yang positif selama tidak melanggar hukum negara dan prinsip-prinsip syariat Islam.
Kedua, setiap individu memang memiliki hak untuk berekspresi, namun tetap harus memperhatikan hak orang lain agar tidak terjadi gangguan atau kerugian.
Masuk ke poin ketiga, MUI Jatim menegaskan bahwa penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang bisa membahayakan kesehatan, mengganggu ketenangan warga, atau bahkan merusak fasilitas umum maupun barang pribadi orang lain, termasuk memainkan musik yang diiringi tarian pria dan wanita yang membuka aurat, baik di tempat tertentu maupun secara keliling, dinyatakan haram.
Meski demikian, dalam poin keempat disebutkan bahwa penggunaan sound horeg dalam batas suara wajar dan untuk kegiatan positif seperti pengajian, resepsi pernikahan, hingga shalawatan, diperbolehkan asalkan bebas dari unsur yang diharamkan.
Sedangkan pada poin kelima, disebutkan bahwa adu sound (battle sound) yang menimbulkan kebisingan berlebih serta pemborosan dianggap haram secara mutlak.
Poin terakhir menyebutkan bahwa penggunaan sound horeg yang menyebabkan kerugian pada pihak lain, baik fisik maupun materi, wajib diganti rugi oleh pelaku.
Dengan ditetapkannya fatwa ini, MUI Jatim dan kalangan pesantren berharap agar pemerintah daerah segera menindaklanjuti melalui regulasi yang jelas agar keresahan masyarakat bisa diatasi, dan ruang ekspresi publik tetap selaras dengan nilai-nilai keagamaan dan ketertiban sosial.***