Sejak muda, Muhammad sudah dikenal sebagai figur pribadi dengan akhlak yang baik. Nasabnya yang terhormat, serta sukunya yang terpandang, yaitu suku Quraish, mendidiknya menjadi manusia dengan kepribadian yang mulia. Salah satu sifat yang menonjol, dimana pada saat itu masyarakat berada dalam kehidupan jahiliyah, adalah sifat Muhammad yang amanah, dapat dipercaya, sehingga di usia mudanya, dia diberi gelar al amin. Suatu hal yang aneh pada jaman itu, ketika banyak orang senang berkhianat kepada amanat.
Maka tak salah jika seorang saudagar besar kala itu, yaitu Khadijah memberikan kepercayaan penuh kepada Muhammad untuk mengendalikan perdagangannya. Di tangan kendali Muhammad inilah perdagangan Khadijah mengalami kemajuan yang signifikan. Menguji kejujuran seseorang itu dengan uang, harta dan kepercayaan.
Dengan kemuliaan akhlak pula, dan tentu kecerdasan, Muhammad menyatukan kabilah-kabilah yang hampir berperang. Ini sebelum Muhammad menjadi Nabi. Yaitu kisah tentang pemugaran Ka’bah yang rusak akibat banjir. Kemudian terjadi perdebatan di antara suku-suku di Mekah, siapakah yang paling berhak mengembalikan hajar aswad ke tempat aslinya dekat Ka’bah? Masing-masing suku merasa paling berhak. Ini menyangkut kehormatan dan harga diri. Perdebatan itu hampir2 menyebabkan peperangan, sampai terjadilah kesepakatan, bahwa barangsiapa yang datang dahulu di dekat Ka’bah pada waktu subuh, dialah yang diberi kehormatan untuk mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semula di dekat Ka’bah.
Muhammadlah ternyata yang datang pertama kali. Padahal dia tidak tahu apalagi ikut dalam perjanjian itu. Karena sudah kesepakatan banyak pihak, maka Muhammad dipersilakan untuk memindahkan hajar aswad.
Tapi Muhamnad figur yang bijak. Calon pemimpin besar haruslah dibekali dengan kebijaksanaan, agar kehadirannya bisa menjadi kebaikan bagi umat. Bukan justru menimbulkan persoalan.
Muhammad tidak bersikap aji mumpung dan dumeh. Muhammad tidak adigang adigung adiguna, walau dirinya sudah diberi purbawasesa, kekucah, wewenang penuh. Secara bijaksana, dia menggelar sorbannya, kemudian masing-masing kepala suku agar memegang ujung2 sorban. Maka dengan sorban itulah Muhammad dan semua kepala suku secara bersama-sama mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semula di dekat Ka’bah.
Begitulah wisdom Muhammad dalam cara menjaga dan menghargai martabat kelompok2 lain. Ia sekaligus menghindarkan masyarakat dari perpecahan dan kerusakan. Egonya ia korbankan demi orang banyak. Maka jika seorang calon pemimpin sudah menampakan egoismenya, bagaimana kelak jika sudah menjadi pemimpin? Bukankah tidak ada yang bisa diharapkan oleh rakyatnya?
Muhammad sejak muda sudah menampakkan jiwa altruisme. Mengutamakan kepentingan orang banyak. Sikap simpai-empatinya ia tunjukan demi martabat banyak pihak.
Ia pun begitu peduli dan prihatin terhadap kondisi masyarakat waktu itu. Ia berpikir dan merenung serta berkhalwat di Gua Hira untuk mencari ilham bagaimana krisis moral masyarakat jahiliyah dapat di atasi. Suatu hal yang tak terpikirkan oleh orang lain. Sampai kemudian turunlah wahyu QS.Al ‘alaq:1-5, yang sekaligus menandai diangkatnya Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.
Ini adalah proses aufklarung bagi diri Muhammad. Ia menemukan simpul2 persoalan moral serta bagaimana mengatasinya. Persoalan jahiliyah itu persoalan moral, bukan masalah ilmu semata.
Maka yang pertama dilakukan oleh Nabi adalah ingin melakukan revolusi akhlak, sebagaimana sabdanya:
؛ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ (رواه أحمد)
Jadi tujuan syariat, ilmu, adalah alhlak. Bukan syareat atau ilmu itu sendiri. Bukan agama itu sendiri. Agama, yang didalamnya ada syareat adalah alat, jalan, metode untuk mencapai akhlak mulia. Petunjuk yang di dapat Nabi untuk memperbaiki akhlak Bangsa Arab waktu itu adalah agama Islam.
Secara das wollen diharapkan dengan melaksanakan syareat islam secara bertahap dan berulang-ulang, dapat memberikan pengalaman impresif bagi individu-individu dan kemudian bermuara kepada terbentuknya akhlak yang mulia.
Akhlak menjadi titik aksentuasi ajaran islam. Karena ini adalah elemen penting untuk membangun relasi setiap individu dengan pihak-pihak yang berada di luar dirinya. Relasi yang baik, sebab akhlak yang baik, akan menciptakan keadaan keseimbangan dalam kehidupan spiritual dan sosial. Inilah tujuan Islam.
Maka sudah seharusnya, setiap individu muslim itu harus ramah dan rahmah, karena keramahan dan kerahmahan, akan membawa kehidupan yang indah. Sedangkan kemarahan akan menimbulkan malapetaka.**
By: Toufik Imtikhani.