SERAYUNEWS- Keheningan bisa jadi begitu lantang. Itulah yang terjadi ketika Tari Kidung Lelana, persembahan mahasiswa PGMI FTIK UIN Saizu Purwokerto, mengguncang panggung SEIBA International Festival 2025.
Tarian ini bukan sekadar deretan gerak indah. Ia adalah bahasa hati, kisah kehidupan yang dituturkan lewat simbol, tentang luka yang menyakitkan, perlawanan yang berani, hingga harapan yang tak pernah padam.
Hari Rabu, 1 Oktober 2025, menjelang senja, menjadi detik yang tak akan dilupakan lima mahasiswa PGMI UIN Saizu Purwokerto: Mirlanda Rahmadhani, Melanny Dwi Hardiyanti, Uti Rahayu, Chinta Khairunnisa, dan Naflah Vivin Nuraeni.
Di Aula Gedung J Kampus III UIN Imam Bonjol Padang, mereka melangkah mantap ke panggung internasional.
Jantung berdegup, doa terucap lirih, dan senyum gugup terselip sebelum lampu sorot menyambut.
Momen itu adalah puncak dari malam-malam panjang latihan, tubuh yang lelah, dan semangat yang tak pernah surut.
Sejak gerakan pertama, penonton larut. Selendang yang dibawa penari mula-mula melambangkan kehidupan yang indah, berkilau seperti masa muda.
Namun perlahan, kain itu berubah makna. Ia menjelma belenggu, simbol luka batin seorang korban bullying.
Setiap lirikan mata, setiap gerakan tangan, hingga langkah kecil yang tertahan, menyampaikan pesan tentang keterpurukan, tekanan, dan kehilangan harapan.
Tapi tarian itu tak berhenti pada kesedihan. Dari tubuh-tubuh muda itu lahir perlawanan, keberanian untuk bangkit, dan tekad untuk tidak tunduk pada penderitaan.
Puncak pertunjukan terjadi ketika kelima penari bergerak serempak. Aula mendadak hening. Tak ada suara selain kidung yang mengalun, seakan waktu berhenti sejenak.
Merah pada kostum melambangkan luka, putih menegaskan harapan. Kontras itu menyihir ruangan, membuat penonton menahan napas.
Lalu, seorang penari maju perlahan ke meja juri. Dengan tenang, ia mengalungkan selendang hitam simbol penghormatan sekaligus penutup kisah.
Hening pun pecah. Tepuk tangan, sorak sorai, dan rasa haru meledak seketika. Air mata penonton, pelukan antar mahasiswa, hingga senyum lega para pendamping menjadi saksi: pesan tarian itu telah sampai.
Bagi rombongan UIN Saizu, penampilan ini lebih dari sekadar festival. Prof. Sunhaji, Wakil Rektor III, berbisik penuh doa, “Semoga Kidung Lelana ini berbuah manis, menjadi persembahan terbaik, dan mengangkat nama kita di panggung dunia.”
Sementara Prof. Hizbul Muflihin menegaskan, karya itu adalah pesan universal. “Ia bukan sekadar kompetisi, melainkan kisah tentang luka yang bisa disembuhkan, perjuangan yang harus dinyatakan, dan harapan yang tidak boleh padam.”
Menang atau tidak, bagi Mirlanda, Melanny, Uti, Chinta, dan Naflah, hari itu sudah lebih dari kemenangan. Mereka menari bukan hanya dengan tubuh, melainkan dengan hati.
Mereka telah membawa Purwokerto ke panggung dunia, menyampaikan pesan bahwa dari luka lahir kekuatan, dari keheningan tercipta suara, dan dari seni lahir cahaya yang menuntun manusia tetap tegar.
Tari Kidung Lelana mahasiswa PGMI UIN Saizu bukan sekadar hiburan. Ia adalah kidung kehidupan tentang luka yang menguatkan, perlawanan yang membebaskan, dan cahaya harapan yang tak pernah padam.
UIN Saizu Maju, UIN Saizu Unggul!
Caption Foto:
Lima mahasiswa PGMI UIN Saizu Purwokerto menampilkan Tari Kidung Lelana di SEIBA International Festival 2025, Padang. (Foto : Humas UIN Saizu)