SERAYUNEWS-Di tengah anggapan rendahnya literasi bangsa ini, Banyumas yang dikenal dengan bahasa Ngapak, ternyata menjadi satu wilayah di negeri ini yang memiliki budaya literasi tinggi. Hal ini diungkapkan guru besar Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto Prof Sugeng Priyadi.
Menurutnya, tingginya budaya literasi di Banyumas ini dilihat dari keberadaan naskah kunonya. Bahkan, selama 30 tahun dirinya melakukan penelitian, terdapat 101 naskah babad Banyumas dengan 65 versi.
Hal itu diungkapkan Prof Sugeng pada saat menjadi pembicara kunci dalam webinar Estafet Sejarah Lokal yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMA dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Jawa Tengah, Sabtu (18/1/2025).
Dalam kegiatan bertema ‘Pelestarian dan Pemanfaatan Arsip dan Manuskrip untuk Penulisan Sejarah Lokal’ itu, Prof Sugeng menekankan pentingnya filologi atau ilmu tentang naskah kuno dalam penelitian sejarah. Menurutnya, tokoh pertama yang memulai penulisan sejarah dengan pendekatan kritis adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913.
“Tanpa menggunakan babad, maka sejarah lokal akan buta dan terasing. Sejarahwan tidak boleh menghindari babad, karena dalam babad justru ada zeistgeist atau jiwa zaman. Kita justru harus menempatkan babad pada level yang tinggi karena di dalamnya ada pesan dari para leluhur, nenek moyang dengan gaya bahasa yang tinggi, sehingga memang sulit dipahami,” ujarnya.
Selain Prof Sugeng, hadir juga Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Kendal Muchlisin yang menyampaikan pentingnya babad dan cagar budaya secara kolaboratif digunakan dalam penelitian sejarah.
“Jadi manuskrip itu memberikan konteks narasi, sementara cagar budaya menyiapkan bukti material yang dapat diverifikasi,” ujarnya.
Ketua MGMP Sejarah SMA Provinsi Jawa Tengah Rinto Budi Santosa berharap melalui webinar ini, dapat menginspirasi para guru sejarah untuk bergiat memelopori dan melakukan riset kesejarahan minimal di kabupaten atau lingkungan masing-masing.
Ketua AGSI Jawa Tengah Heni Purwono juga berharap para guru sejarah dapat proaktif dalam mencari sumber sejarah lokal.
“Memang kewajiban guru sejarah mengajar. Namun ketika ia bisa melakukan riset, apalagi di daerah melimpah sumber sejarah, itu akan menjadi poin plus tersendiri bagi guru sejarah. Ia bisa mendekatkan apa yang diajarkan di kelas dengan konteks lingkungan dimana siswa tinggal,” katanya.