Purbalingga, serayunews.com
Gunaryo, putra asli Purbalingga ini namanya sempat sangat bersinar di dunia sepak bola. Dia tumbuh dan besar meniti karier di dunia sepak bola di Purbalingga.
Kemampuan bermainnya, menjadikan dia sebagai bintang lapangan paling dibanggakan. Namanya begitu harum, semerbak wanginya sampai di seluruh pelosok Kota Perwira.
Dia menggawangi perjalanan Persibangga, sejak masih tim amatir sampai menjadi tim profesional. Kontribusi Gunaryo untuk tim kebanggaan Braling Mania ini, tidak sedikit.
Atas kiprah dan loyalitasnya, pujian, hadiah, sampai tawaran pekerjaan menjanjikan pun sempat didapatnya.
Lain dulu, lain sekarang. Bermodal nama besar saat itu, ternyata tak menjanjikan kehidupan yang lebih baik buatnya di masa sekarang.
Seiring meredup namanya, Gunaryo seolah hilang ditelan bumi. Dulu menjadi rebutan, kini terlupakan.
“Saat ini aktivitasnya biasa mas, lagi nganggur. Kerja serabutan, apa saja,” katanya, mengawali obrolan dengan serayunews.com, Sabtu (19/11/2022).
Beberapa tahun lalu, dia sempat membantu usaha kawan baiknya di bidang ternak ayam pedaging. Tak hanya itu, dia bahkan sempat jualan Sop Keong di Pasar Bojongsari, Purbalingga.
“Iya, sempat jualan Sop Keong di pasar. Tapi sekarang sudah tidak,” ujarnya.
Selain Persibangga, Gunaryo sempat memperkuat tim sepak bola Jateng di ajang bergengsi Pekan Olahraga Nasional (PON). Tentu menjadi sebuah prestasi yang didamba oleh para pesepak bola lokal.
Setelah berjaya di tim PON, peluang kariernya terbuka untuk masuk tim besar. Saat itu, dia berkesempatan bergabung dengan PSIS Semarang.
Belum sempat turun lapangan, dia memutuskan kembali ke Purbalingga. Ada tokoh besar Purbalingga yang membujuknya untuk kembali, karena kekuatannya masih dibutuhkan oleh Persibangga.
Selain dijanjikan bermain, dia juga diiming-iming bekerja di lingkungan Pemda Purbalingga.
“Saat itu sudah lolos seleksi PSIS Semarang, tapi ada yang mengajak pulang Purbalingga. Saya sempat dianggap kacang lupa kulit kalau bergabung PSIS Semarang. Waktu itu juga ada janji untuk disalurkan kerja, tapi pas ikut ujian honorer Satpol PP Purbalingga, malah tidak terpilih,” katanya.
Membesarkan tim tanah kelahiran, sudah menjadi keputusannya. Namun sayangnya, nasib berkata beda. Persibangga berjalan tidak semestinya. Awal musim, dia akhirnya pindah dan bergabung dengan tim kabupaten tetangga.
Sekitar satu tahun, dia menjadi skuad PSCS Cilacap. Saat itu, dia mengalami cedera kaki yang cukup berat. Kekuatannya, tak seperti sediakala.
Dia merasa seperti tak dihargai dan akhirnya memilih kembali pulang. Beberapa waktu menganggur, dia kembali berlaga.
“Saya diajak teman ikut seleksi Persekab Kebumen, akhirnya lolos dan bergabung. Tapi sepak bola Indonesia dibekukan, tidak ada pertandingan, nganggur lagi,” katanya.
Sepak bola dan Gunaryo, sudah tak terpisahkan. Meski tidak bermain di laga-laga bergengsi, sampai saat ini dia masih bermain bola. Namun, untuk penghidupan sudah tidak bisa diharapkan.
“Sepak bola masih, sebelum ada covid-19 masih sering ikut tarkam. Tapi sejak pandemi, belum main lagi,” ujarnya.
Saat ini di usianya yang sudah 32 tahun, dia sudah lebih fokus pada keluarga. Bapak satu anak ini, menekuni usaha budidaya ikan air tawar. Setidaknya, bidang itu yang kini jadi sumber pendapatan.
“Sekarang masih usaha ikan tawar, budidaya,” kata Gunaryo yang saat ini tinggal di Banjarnegara.
Dedikasinya untuk sepak bola, masih belum padam. Bermodal kecintaan, sejak sekitar satu tahun lalu dia melatih anak-anak di desanya.
“Awal Pandemi itu saya melihat anak-anak bermain di lapangan, jadi saya ajak latihan. Pertama anak-anak U 15, kemudian menyusul anak-anak remaja. Alhamdulillah, ada support dari orang-orang,” katanya.
Kisah masam perjalanan Gunaryo, bukan cerita pertama yang dialami atlet di Indonesia. Rentetan prestasi yang sudah diberikan untuk negeri, tak membuat kehidupannya jadi lebih baik di kemudian hari.
Bak putaran roda, yang di atas bergeser ke posisi bawah. Saat atlet gemilang ini mulai menurun dan tak lagi mampu mengukir prestasi, mereka diacuhkan seakan tak pernah ada.
Gunaryo yang dulu dianggap kacang lupa kulitnya, kini justru dilupakan seolah tak pernah ada.