SERAYUNEWS—-Pemungutan suara di Prancis telah ditutup (7/2024). Koalisi kubu sayap kiri tak terduga memenangkan kursi parlemen terbanyak dalam pemilihan putaran kedua.
Hasil mengejutkan ini menempatkan aliansi tengah Presiden Emmanuel Macron di posisi kedua dan sayap kanan di posisi ketiga.
Namun, sayap kiri tidak berhasil mendapatkan suara mayoritas sehingga sulit membentuk pemerintahan bariu.
Prediksinya, kondisi ini akan menempatkan Prancis dalam kekacauan politik dan ekonomi.
Menurut hasil resmi yang terbit pada Senin (8/7) dini hari, tiga blok koalisi utama gagal meraih 289 kursi untuk mengontrol parlemen Majelis Nasional, yang total beranggotakan 577 anggota.
Partai koalisi sayap kanan National Rally (NR) gagal memimpin Prancis karena hanya berada di posisi ketiga dengan 140 kursi.
Sementara itu, kursi terbanyak dimenangkan oleh koalisi sayap kiri Front Populer Baru dengan 180 kursi. Kemudian, aliansi tengah Presiden Emmanuel Macron dengan 160 kursi mengisi posisi kedua.
Karena koalisi sayap tengah berada di urutan kedua, Perdana Menteri Gabriel Attal, berencana mengajukan pengunduran diri pada Senin (8/7/2024).
Kondisi ini menjadikan Prancis menghadapi prospek intrik politik selama berminggu-minggu untuk menentukan siapa yang akan menjadi perdana menteri dan memimpin Majelis Nasional.
Koalisi partai sayap kiri baru terbentuk bulan lalu dengan nama Front Rakyat Baru (NFP). Selanjutnya, koalisi ini menyatukan Partai Sosialis, Hijau, Komunis, dan sayap kiri keras La France Insoumise (LFI) dalam satu kubu.
Tokoh kiri radikal Jean-Luc Melenchon, pemimpin LFI dan tokoh kontroversial dari koalisi NFP, menuntut agar kiri mendapat kesempatan untuk membentuk pemerintahan.
“Komponen-komponen yang bersatu, kiri bersatu, telah menunjukkan diri mereka setara dengan momen bersejarah ini dan dengan cara mereka sendiri telah menghindari jebakan yang dipasang untuk negara,” katanya.
Istilah sayap kiri dan sayap kanan awalnya bertujuan untuk merujuk pada pengaturan tempat duduk fisik para politisi selama Revolusi Prancis. Perpecahan ini terjadi pada musim panas tahun 1789.
Para revolusioner anti-kerajaan duduk di sebelah kiri pejabat yang memimpin, sementara para pendukung monarki yang lebih konservatif dan aristokrat berkumpul di sebelah kanan.
Kali ini, sayap kiri mengusung program kebijakan yang ingin membatasi harga barang-barang penting seperti bahan bakar dan makanan, serta menaikkan upah minimum menjadi 1.600 euro per bulan.
Kemudian, kebijakan juga bertujuan menaikkan gaji pekerja sektor publik dan mengenakan pajak kekayaan, segera mengatakan bahwa mereka ingin memerintah. Selain itu, mereka juga mendukung kemerdekaan Palestina.***(O Gozali)