
SERAYUNEWS- Setiap tahun bangsa Indonesia merayakan Hari Guru dengan upacara, pidato, dan ungkapan penghormatan.
Namun menurut Guru Besar Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora (FUAH) UIN Saizu Purwokerto, Prof. Kholid Mawardi, penghormatan ini sering berseberangan dengan kenyataan yang dialami para pendidik di lapangan.
Kita mengagungkan guru melalui kata-kata, tetapi membiarkan mereka bergulat dengan realitas yang tak sepadan dengan peran strategis yang mereka emban.
Ada enam krisis besar yang selama ini kita biarkan menjadi bagian dari rutinitas pendidikan, sehingga seolah-olah semuanya baik-baik saja. Padahal, ketidakberesan itu telah berurat akar dan menjadi kebiasaan budaya: kebiasaan untuk tidak benar-benar memperbaiki.
1. Krisis Kesejahteraan: Ketidakadilan Struktural yang Kita Bungkus Dengan Kata “Pengabdian”
Kesejahteraan guru selama ini menjadi ironi terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia. Banyak guru honorer bekerja dengan gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar, bahkan ada yang hanya dibayar puluhan ribu rupiah per bulan.
Kondisi ini telah berlangsung lama, sehingga membentuk budaya baru: bahwa guru wajar tidak sejahtera. Lebih parah lagi, ketidakadilan tersebut sering dirasionalisasi dengan kalimat “guru itu ikhlas mengabdi” padahal tidak ada profesi yang diwajibkan bekerja tanpa imbalan layak.
Ketika skema PPPK hadir, ribuan guru tetap tersisih akibat mekanisme seleksi yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan pengalaman panjang mereka. Krisis ini menjadi normal, itulah masalahnya.
2. Krisis Fragmentasi Organisasi: Suara Guru yang Terpecah Hingga Mudah Diabaikan
Organisasi guru di Indonesia tumbuh seperti tanaman liar: banyak, tetapi tidak terkoordinasi. PGRI, IGI, FGII, PGSI, forum PPPK, komunitas MGMP mandiri semuanya memiliki ritme masing-masing.
Fragmentasi ini melahirkan tiga masalah utama: suara tidak solid, kolaborasi lemah, dan negara mudah mengabaikan aspirasi guru. Profesi sebesar ini seharusnya memiliki kekuatan advokasi yang solid, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
3. Krisis Administrasi: Ketika Guru Lebih Sibuk Dengan Aplikasi daripada Dengan Siswa
Guru kini memiliki dua peran: pendidik dan operator administrasi. Dapodik, e-Rapor, absensi digital, supervisi, asesmen, laporan BOS, dan berbagai aplikasi lain membuat guru tenggelam dalam data.
Beban laporan menggeser esensi mengajar. Banyak guru terpaksa mengajar secara minimalis karena waktu habis mengurus formulir. Sekolah berubah menjadi kantor birokrasi, bukan ruang pembelajaran.
4. Krisis Profesionalisme: Pelatihan yang Tidak Relevan, Digital Gap, dan Ketimpangan Kapasitas
Pelatihan guru seharusnya menjadi jantung peningkatan mutu pendidikan, namun realitasnya sering melenceng. Banyak pelatihan hanya memperpanjang daftar sertifikat tanpa memperkuat kapasitas nyata.
Webinar massal menjadi rutinitas, bukan proses belajar substantif. Guru di daerah tertinggal kesulitan akses internet, membuat jurang kualitas semakin lebar. Tidak ada coaching system jangka panjang yang memastikan kompetensi tumbuh secara berkelanjutan.
5. Krisis Kurikulum: Perubahan Terlalu Cepat, Internalitas Terlalu Lambat
Indonesia telah mengganti kurikulum berkali-kali dalam dua dekade. Masalahnya bukan perubahan itu sendiri, melainkan pola tergesa-gesa tanpa masa transisi. Guru harus beradaptasi tanpa dukungan yang memadai.
Buku dan sumber ajar sering terlambat, pelatihan tidak menyentuh filosofi dasar, dan implementasi lebih berbasis kepatuhan daripada pemahaman. Kurikulum tidak sempat mengakar; ia hanya menjadi dokumen administratif.
6. Krisis Ekosistem Pendidikan: Fasilitas Minim, Harapan Berlebih
Guru diminta mengajar dengan kreativitas abad ke-21, tetapi fasilitas sekolah banyak yang tidak memenuhi standar minimal. LCD rusak, wifi lambat, perpustakaan kosong, ruang kolaborasi tidak tersedia.
Ketimpangan fasilitas menjadi bukti bahwa sekolah belum dipandang sebagai ekosistem budaya, melainkan sekadar tempat instruksi.
1. Keadilan Kesejahteraan sebagai Pangkal Perubahan
Kesejahteraan harus menjadi prioritas: standar upah minimum untuk guru honorer, reformasi PPPK berbasis rekognisi pengalaman, tunjangan profesi tepat waktu, dan peran aktif pemerintah daerah. Profesionalisme tidak akan tumbuh dalam ketidakpastian ekonomi.
2. Konsorsium Nasional Guru: Menyatukan Suara, Menguatkan Negosiasi
Indonesia membutuhkan Konsorsium Nasional Profesi Guru untuk menyatukan seluruh organisasi. Tanpa kekuatan politik-profesional yang solid, guru akan terus menjadi objek kebijakan, bukan subjek yang menentukan arah perubahan.
3. Reformasi Administrasi secara Sistemik
Administrasi harus disederhanakan secara radikal: satu platform terpadu, staf administrasi khusus, dan kepemimpinan kepala sekolah berbasis instructional leadership. Laporan harus melayani pembelajaran, bukan membebani guru.
4. Profesionalisme Guru Berbasis Praktik, Komunitas, dan Pendampingan
Solusi yang efektif meliputi coaching, peer learning, pelatihan relevan, pemerataan fasilitas digital, dan penilaian berbasis portofolio. Guru tumbuh melalui praktik dan pendampingan, bukan webinar massal.
5. Kurikulum sebagai Tradisi, Bukan Proyek
Diperlukan kurikulum jangka panjang yang stabil (15–20 tahun), berbasis riset budaya dan pedagogik. MGMP dan KKG harus diperkuat sebagai pusat implementasi, bukan sekadar forum administratif.
6. Sekolah sebagai Ekosistem Budaya yang Hidup
Sekolah harus menjadi ruang budaya dengan perpustakaan aktif, ruang kolaborasi, laboratorium mini, fasilitas digital, dan BOS yang fokus pada kualitas pembelajaran.
Jika enam krisis ini terus dianggap biasa, pendidikan Indonesia tidak akan pernah melompat maju. Guru tidak membutuhkan pujian seremonial; mereka membutuhkan keberanian kolektif bangsa untuk memperbaiki sistem pendidikan dari akar hingga pucuk. Hari Guru seharusnya menjadi alarm sosial bukan sekadar pesta tahunan.
Prof. Kholid Mawardi menegaskan bahwa Hari Guru seharusnya menjadi alarm sosial bagi seluruh bangsa. Kita tidak boleh lagi menormalisasi krisis yang merusak sistem pendidikan dari dalam.
Guru tidak membutuhkan seremoni atau pujian tahunan. Mereka membutuhkan: sistem yang adil, kebijakan yang berpihak, ekosistem yang mendukung, dan budaya pendidikan yang sehat.
Jika enam krisis besar terus dianggap biasa, Indonesia tidak akan pernah melompat maju. Kini saatnya mengakhiri normalisasi ketidakberesan dan membangun keberesan pendidikan secara sistemik dari akar hingga pucuk.