Koordinator Banyumas Eling-eling Society, Suherman mengatakan, ada berbagai pagelaran seni budaya yang disuguhkan, seperti pementasan calung dan kuda lumping. Beragam pentas budaya yang ditampilkan sebagai simbol kedamaian Banyumas dan menolak aksi anarkis.
“Agenda ini kami ingin menyampaikan, Kabupaten Banyumas itu jauh dari unsur kekerasan. Orang Banyumas itu cablaka,” ujar dia.
Aksi tersebut, menyikapi persoalan demo penolakan Omnibus Law pada Jumat (16/10) yang berakhir ricuh. Kala itu, peserta demo dibubarkan paksa karena melampaui batas waktu yang ditentukan.
“Kami kelompok seniman menghargai demonstrasi di Banyumas, karena aksi itu dilindungi undang-undang. Tetapi kami mengecam kekerasannya bukan demonstrasinya,” kata dia.
Pemilihan pentas seni calung dan ebeg itu lantaran kedua kesenian itu merupakan ciri khas Kabupaten Banyumas dan menjadi seni yang merakyat.
“Aksi ini tidak ada kaitannya dengan penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Pada intinya kami mengikuti pemerintah yang sah,” kata dia.
Pagelaran itu juga sebagai penyampaian ekspresi kedamaian. Selama Pandemi Covid-19, kelompok seni di Kabupaten Banyumas kesulitan untuk pentas, karena belum adanya izin.
“Kami berharap bisa segera diperbolehkan pentas, karena masyarakat banyak yang mengharapkan, ebeg bisa kembali digelar,” ujarnya.