SERAYUNEWS – Diskriminasi terhadap masyarakat Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masih saja terjadi. Seolah mereka masih tersisihkan di kehidupan sosial masyarakat, meskipun secara konstitusional negara mengakui.
Hal itu terungkap pada acara diskusi publik bertajuk Praktik Baik: Mewujudkan Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Acara yang dilaksanakan di Pendopo Si Panji Purwokerto itu menghadirkan kelompok-kelompok Penghayat Kepercayaan, Dinas Terkait, dan Komnas HAM.
Sekretaris Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Banyumas Deskrat Djatmiko menyampaikan, warga Kepercayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia.
Negara telah mengakui dan menjamin hak penghayat Kepercayaan, melalui konstitusi dan berbagai peraturan, termasuk Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XIV/2016. Meskipun secara konstitusional dan legal hak-hak ini telah dijamin, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan.
“Harapan besar kepada teman-teman penghayat untuk menjaga kebudayaan terus langgeng. Karena kebudayaan yang kuat akan mempengaruhi ketahanan ekonomi dan sosial,” katanya, Kamis (15/08/2024).
Bukti belum terjadinya kesetaraan bagi Kaum Penghayat Kepercayaan, disampaikan oleh seorang pelajar di sebuah sekolah di Banyumas. Perempuan berinisial ND (14), dia sewaktu duduk di bangku SMP, sering mengalami tekanan dari gurunya.
Meskipun itu dilakukan di ruang tertutup, dalam arti tidak dihadapan siswa lainnya, namun tetap saja dirasakan tidak nyaman selama menjalani kehidupan disekolah. Bahkan, bullying dia juga dapatkan dari teman siswa lainnya.
“Saya beberapa kali, sering lah, dipanggil guru, dibilangin untuk memakai hijab, tapi kan saya tidak mau. Di situ kan sekolah umum, sekolah negeri, yang harusnya tidak mewajibkan pakaian seperti itu,” kata ditemui di sela acara diskusi.
Staf khusus Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Berto Tukan menjelaskan kegiatan diskusi ini sebagai tindak lanjut upaya pemerintah dalam memenuhi hak penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hak yang perlu didapatkan diantaranya kesetaraan di dunia pendidikan. Penganut kepercayaan mendapat hak yang sama di sekolah dengan mendapatkan pelajaran kepercayaan. Langkah ini dilakukan dengan membuka program studi (prodi) kepercayaan untuk menciptakan tenaga pengajar atau guru.
Lebih lanjut dia menjelaskan, salah satu perguruan tinggi yang sudah membuka Prodi kepercayaan kepada Tuhan Yama Esa, yakni Universitas 17 Agustus Semarang. Diharapkan dengan dibukanya Prodi tersebut akan tercetak guru guru yang mengajarkan kepercayaan kepada siswa penghayat kepercayaan di setiap sekolah yang ada. Kemudian hak pengakuan yang sama juga dilakukan dalam administrasi pencatatan identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Jadi kita berharap bisa mendapatkan evaluasi yang baik. Untuk yang baik kemarin dikembangkan untuk peningkatan pelayanan,” kata Berto.
Dia mengatakan, Disdukcapil Banyumas secara formal melayani kepengurusan administrasi secara setara dan sesuai prosedur. “Pengurusan KTP untuk rekan-rekan penghayat ini juga dapat dilakukan secara kolektif di masing-masing organisasi Kepercayaan,” ungkap Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Banyumas, Hirawan Danan Putra.
Diskusi ini diikuti oleh organisasi penghayat kepercayaan di Banyumas, Cilacap, dan Purworejo dan dinas yang berkaitan. Harapannya, diskusi ini dapat mendorong saling belajar, baik bagi pihak pemerintahan maupun Organisasi Penghayat Kepercayaan demi mempercepat pemenuhan hak bagi Penghayat Kepercayaan, melalui praktik baik yang telah terjadi di beberapa wilayah.
Di bidang pendidikan, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap Ahmad Fantoni menceritakan bahwa saat ini hanya ada 5 organisasi Kepercayaan yang sudah memiliki penyuluh (tenaga kependidikan yang mengajarkan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan YME) untuk menjangkau 24 kecamatan yang lokasinya tidak dekat.
“Menyiasati kondisi keterbatasan penyuluh ini, diperlukan komunikasi yang baik antara dinas, kepala sekolah, penyuluh dan siswa. Perlu ada kesepakatan untuk pembagian wilayah dan waktu pembelajaran,” ujar Fatoni.
Feby Lestari salah satu penghayat Kepercayaan yang juga menjadi penyuluh menyampaikan bahwa pemerintah memiliki kehendak baik untuk memenuhi hak bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Namun, dalam implementasi layanannya diperlukan kajian bersama agar tidak tumpang tindih.