SERAYUNEWS – Secara administratif, pemerintah sudah mengakui penghayat kepercayaan lewat kartu kependudukan. Namu demikian, kaum penghayat kepercayaan di Kabupaten Banyumas masih harus berjuang, supaya tidak dianggap ‘aneh’ dalam kehidupan bermasyarakat.
Mereka masih kerap mendapat perundungan dalam kehidupan keseharian, pada lingkungan sosial masyarakat. Bahkan, bentuk perundungan itu juga mereka terima dalam lingkungan pendidikan.
Gadis belia berinisial ND (14) misalnya, penganut penghayat kepercayaan Kawruh Rasa Sejati. Belum lama dia secara resmi mengikuti aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa itu. Dia memutuskan untuk mengikuti kepercayaan yang ibunya anut.
Sewaktu SMP, ND beberapa kali mendapatkan perlakuan tidak nyaman. Meskipun dia sekolah di SMP Negeri, namun dia ‘seolah’ dapat paksaan untuk mengenakan hijab pakaian umat muslim.
Padahal, itu bukan aturan resmi dari sekolah seperti di MTs atau MA. Tetapi lebih karena melihat kebanyakan siswi di sekolah tersebut, menggunakan busana panjang dan berhijab.
“Itu sekolah negeri, harusnya ngga boleh begitu (menyuruh berhijab, red),” katanya, usai diskusi publik bertajuk Praktik Baik: Mewujudkan Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa, di Pendopo Si Panji Purwokerto, Kamis (15/08/2024).
Dia menceritakan, gurunya dulu pernah memintanya mengenakan hijab. Meskipun itu bersifat imbauan, namun permintaan itu lebih dari sekali.
Bahkan, kalimat perintah itu terlontar di hadapan banyak guru lain. AKibat berkali-kali ada imbauan seperti itu, ND pun seakan mendapat cap sebagai orang aneh.
Dia menceritakan pengalaman, dulu ada guru Mapel yang sampai hati mempertanyakan alasan saya menjadi penganut kepercayaan.
“Seharusnya guru tidak boleh bilang seperti itu,” katanya.
Kisah pahit lainnya, pernah dia alami di luar lingkungan sekolah lewat para kerabatanya. Sepupunya, bahkan ikut jadi korban perundungan karena memiliki saudara penganut kepercayaan sepertinya.
“Sepupu saya sempat kena mental, karena ada yang mengatainya saudara orang yang menyembah pohon,” ujarnya.
Ibunda ND, berinisial S menambahkan, tidak hanya pada anaknya, perlakukan kurang mengenakan juga dia alami. Meskipun suaminya telah menerima apa yang menjadi pilihannya, tapi keluarga suami belum sepenuhnya menerima.
S berusaha untuk tidak melawan, dia justru terus memberikan penjelasanseputar agama kepercayaan dsb.
“Banyak hal yang saya sampaikan tentang penghayat, apa itu penghayat. karena mereka tidak mengenal, jadi ngga ngerti. Penghayat kepercayaan itu lebih mengedepankan budi pekerti luhur, spiritualnya,” katanya.
S masih menjalani prosesi perkawainan dengan cara Islam, saat menikah dengan sang suami. Karena waktu itu kata dia, keputusan MK belum keluar. Sedangkan dari SD sampai S1, dia masih mendapatkan pendidikan Islam.
“Setelah ada putusan MK, saya ganti KTP jadi kepercayaan,” ujarnya.
Mengenai fasilitas tempat peribadatan, seharusnya ada tempat khusus yang berstandar. Namun, selama ini masih memanfaatkan rumah sesepuh. Aktivitasnya hanya sekali dalam seminggu, di Sanggar Pamujan.
“Setiap malam minggu, kami semedi dan olah rasa,” katanya.
Agenda yang sedang mereka rancang adalah merumuskan kurikulum untuk penerapan di sekolah. Karena selama ini, belum tersusun sistematikanya soal apa saja pelajaran agama kepercayaan untuk jenjang SD, SMP dan seterusnya.
“Agenda kita sekarang adalah merancang kurikulum, membuat sistematikanya seperti apa,” kata perempuan yang sedang menempuh kuliah prodi Ilmu Kaum Penghayat ini.