
SERAYUNEWS – Suku Awyu, salah satu kelompok etnis di Papua, merupakan salah satu suku yang kaya akan tradisi dan budaya.
Terletak di wilayah pedalaman Papua Selatan, Suku Awyu ini dikenal dengan sistem sosial yang kuat dan adat istiadat yang unik.
Bahasa Awyu termasuk dalam rumpun Trans–New Guinea, dan komunitasnya hidup dengan cara yang selaras dengan alam, bergantung pada hutan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam beberapa hari terakhir, Papua, termasuk suku Awyu, telah menjadi pusat perhatian global melalui kampanye All Eyes on Papua.
Pemicu utama tagar tersebut lantaran hutan di Papua, tepatnya di Boven Digoel, yang luasnya 36 ribu hektar akan dibabat habis dan dibangun kebun sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.
Sontak, warganet menggaungkan tagar sebagai bentuk dukungan terhadap hak rakyat Papua atas penyerobotan hutan adat yang akan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh penguasa.
Kampanye ini viral di Instagram, mengangkat isu-isu hak asasi manusia, lingkungan, dan keadilan sosial di Papua. Munculnya tagar #AllEyesOnPapua pun menarik perhatian internasional.
Khususnya, terhadap kondisi masyarakat Papua. Bahkan, itu memicu perbincangan tentang identitas budaya dan tantangan suku-suku asli, seperti suku Awyu.
Kampanye All Eyes on Papua menjadi simbol perjuangan masyarakat Papua untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.
Bagi suku Awyu, kampanye ini adalah platform penting untuk menyuarakan isu-isu yang sering kali terabaikan.
Perusakan hutan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pertambangan adalah masalah kritis yang mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Hutan bukan hanya sumber pangan dan obat-obatan, tetapi juga bagian integral dari identitas dan spiritualitas mereka. Hilangnya hutan berarti hilangnya budaya dan jati diri mereka.
Selain itu, akses terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan masih menjadi tantangan besar bagi suku Awyu dan komunitas-komunitas adat lainnya di Papua.
Daerah yang sulit terjangkau, membuat bantuan dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah seringkali terlambat atau tidak mencukupi.
Kondisi ini makin buruk dengan kurangnya infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih. Melalui kampanye ini, dunia diingatkan pentingnya melindungi hak masyarakat adat Papua.
All Eyes on Papua telah berhasil menggalang dukungan internasional, dari aktivis hingga selebriti, yang ikut menyuarakan keprihatinan mereka.
Ini menunjukkan kekuatan media sosial dalam mengangkat isu-isu lokal ke panggung global. Namun, dukungan dari dunia internasional harus beriringan dengan tindakan nyata.
Pemerintah Indonesia mesti lebih serius dalam menangani masalah di Papua, termasuk memberikan perhatian khusus kepada suku-suku seperti Awyu.
Perlindungan terhadap hak adat, pemberdayaan ekonomi, dan perbaikan infrastruktur adalah langkah-langkah yang mendesak.
Masyarakat Papua, dengan kekayaan budayanya, layak mendapatkan pengakuan dan hak yang setara dalam pembangunan Indonesia.*** (Umi Uswatun Hasanah)