SERAYUNEWS– Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 27 Januari sebagai Hari Peringatan Holocaust Internasional. Itu adalah waktu untuk mengingat enam juta orang Yahudi yang menjadi korban Holocaust dan jutaan korban penganiayaan Nazi lainnya. Siapa sangka, salah satu orang Indonesia, Mima Saina, pernah bersinggungan dengan Nazi.
Holocaust (holokaus) atau Shoah, adalah ‘Solusi Akhir’ Nazi Jerman untuk melenyapkan semua orang Yahudi yang berada dalam genggaman Nazi Jerman.
Tragedi yang berawal pada 24 Februari 1920 itu mengakibatkan hampir dua pertiga populasi Yahudi Eropa terbunuh akibat tindakan keji ini.
Ada kisah lain yang bisa menjadi pembelajaran dari tragedi ini. Alfred Munzer adalah seorang keturunan Yahudi yang selamat dari pembantaian oleh Nazi.
Saat itu dia masih berusia sembilan bulan selamat setelah diasuh dan dilindungi oleh orang Indonesia, Tole Madna, yang tinggal di Belanda.
Alfred kemudian diberi nama panggilan Bobby oleh Tole Madna. Dia melakukan ini agar tetangga tidak curiga saat memanggilnya. Nama Bobby mirip dengan nama anak bungsu Tole, Robby. Berkat nama itu, Alfred bisa bertahan empat tahun bersama keluarga Tole sebelum bertemu kembali dengan orang tua aslinya
Di keluarga itu, ada sorang perempuan pembantu rumah tangga yang sangat menyayanginya, Mima Saina.
“Nina bobo, oh nina bobo. Kalau tidak bobo, digigit nyamuk.” Senandung lagu pengantar tidur anak Indonesia ini setiap malam Mima nyanyikan ketika menidurlkan Alfred.
Mima Saina yang beragama Islam, setiap hari rela berjalan berkilo-kilo meter untuk membelikan Alfred susu. Saat Nazi menggeledah rumah-rumah untuk mencari orang Yahudi, Ia bersembunyi bersama Alfred di atas langit-langit.
Alfred menganggap Mima seperti ibunya sendiri. Ia pun sering terkenang kebaikan dan pengorbanan Mima setiap mendengarkan lagu Nina Bobo.
Kisah ini kemudian dituangkan dalam cerita film “Nina Bobo untuk Bobby” yang diputar di Tolerance Film Festival di Institute Francais Indonesia, pada tahun 2018.
Film yang sangat inspiratif dan menyentuh tentang toleransi antarmanusia yang lintas agama, ras, bahkan kebangsaan.
Alfred merasa bersyukur bisa tinggal dalam keluarga yang sangat toleran dan bisa menghargai perbedaan. Ada lima agama berbeda dalam keluarga itu, Kristen, Protestan, Islam, Budha, dan Alfred yang seorang Yahudi.
“Saya bisa berada di sini karena keluarga pasangan Indonesia-Belanda,” kata Alfred dalam film itu.
Sebuah pembelajaran, bahwa atas nama humanisme kewarganegaraan kita sama. Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah Mima Saina ini.*** (O Gozali)