SERAYUNEWS — Dalam Debat Cawapres kemarin, Mahfud MD menyinggung ekonomi hijau.
“Nah, saya punya cerita kalau bicara soal recycle seperti ekonomi hijau. Saya merasa berbangga sebagai orang Madura. Karena orang Madura itu yang pertama dulu mempelopori ekonomi hijau, ekonomi sirkuler,” ujar Mahfud (21/1/2024).
Mahfud betul pelopornya orang Madura dan sekarang profesi terkait barang bekas tidak lagi didominasi asal daerah Madura. Bahkan, juga tidak lagi mengenal status pendidikan.
Susilo Toer misalnya, dia Doktor ekonomi. Dia fasih berbahasa Inggris, Rusia, Jerman, dan Belanda, secara lisan maupun tulisan. Dia adalah adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis yang kiprahnya diperhitungkan dunia.
Selepas magrib Soesilo Toer berkeliling Kota Blora mengais rejeki dari barang-barang bekas bernilai jual.
Di sudut kota lain, di Sleman Yogyakarta ada Musiman atau biasa dipanggil Simus. Dia juga menggantungkan hidup dari barang bekas.
Awalnya, Simus membuka bengkel mobil sendiri sepulang dia bekerja di bengkel mobil di Lampung.
Setelah gempa Yogyakarta tahun 2006, Simus memutuskan alih profesi ke barang bekas.
Bisnis rongsok dimulai Simus dengan mengumpulkan dan menjual apa saja yang bisa dijual kembali, mulai dari kertas, plastik, besi dan lainnya.
Seiring perjalanan waktu, Simus meninggalkan barang bekas plastik dan kardus dan lainnya. Dia beralih fokus ke barang bekas elektronik.
“Terutama komputer, CPU, dan mainboard yang paling laku, karena di dalamnya terdapat kandungan emas maupun tembaga yang apabila diolah kembali masih bernilai tinggi,” jelas Simus.
Penentuan nilai CPU bekas tidak bisa dipukul sama rata. Harga bakal tergantung usia suku cadang komputer dan kelengkapan isi CPU.
Bila CPU itu sudah tua, dalam artian level pentium, sekali jual cuma dapat sekitar Rp 40 ribu. Sementara untuk ukuran Core 2 Duo, nilai jualnya dapat lumayan tinggi kurang lebih Rp 300 ribu.
Simus bercerita pernah membeli CPU seharga 800 ribu dan menjualnya seharga 3 juta rupiah.
“Padahal orang yang jual CPU ke saya belinya 200 ribu. Kalau saya beli 500 ribu saja dia sudah senang. Tapi tetap saya beli lebih tinggi. Bagi-bagi rejeki,” jelasnya.
Untuk memperoleh sampah elektronik, Simus biasanya melakukan tiga cara. Pertama, bergerilya dari satu lapak ke lapak lainnya. Kedua, memborong dari kantor atau sekolah yang tengah melakukan peremajaan fasilitas elektronik. Ketiga, menerima penjualan dari pedagang rongsok keliling.
Omset per bulan dari usaha ini mencapai 5 juta sampai 10 juta rupiah.
Simus menyadari bahwa bisnis itu dinamis, tidak bisa hanya mengandalkan pada satu sumber saja.
Secara otodidak, Simus kemudian belajar service kipas angin. Tak hanya service, dia juga menjual kipas angin bekas layak pakai dengan harga miring. Harga berkisar antara Rp. 80 ribu sampai Rp. 150 ribu. Kipas angin yang dijual juga berasal dari daur ulang barang bekas.
Dari bisnis kipas angin, dia mendapat omset per hari rata-rata Rp. 300 ribu.
“Pernah saat saya membangun rumah, upah tukang selama dua bulan saya bayar dari service kipas angin,” kata Simus.
Sampah elektronik memang saat ini menjadi primadona. Para pelaku bisnis ini sebenarnya sudah manjadi pahlawan lingkungan karena sampah elektronik mengandung komponen atau terbuat dari bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti timbal, merkuri, cadminium.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2021 timbunan sampah elektronik di Indonesia mencapai 2 juta ton. Dari jumlah tersebut, kontribusi terbesar sampah elektronik adalah berasal dari pulau Jawa yakni mencapai 56% dari keseluruhan jumlah di Indonesia.
Sementara itu, The Global E-Waste Monitor 2020 menunjukkan data selama tahun 2019 timbunan sampah elektronik di dunia mencapai 53,6 juta ton.
PBB memprediksi di tahun 2030 timbunan sampah elektronik akan mencapai 74 juta ton dan di tahun 2050 akan mencapai 120 juta ton.
Keberadaan orang seperti Simus setidaknya memberi pembelajaran, bahwa sampah elektronik masih bisa didaur ulang. Ekonomi hijau masih bisa berjalan. *** (O Gozali)