SERAYUNEWS— Surat yang dibuat pada tanggal 11 Maret 1966 itu terkenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Itu menjadi penanda beralihnya kekuasaan Orde Lama Sukarno ke Orde Baru Soeharto.
Hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi sejarah, mulai dari pro-kontra tentang apa sebenarnya isi surat tersebut, anggapan bahwa Soeharto telah memanipulasinya demi merebut kursi kekuasaan, sampai kecurigaan apakah surat tersebut benar-benar ada. Hal tersebut karena sampai detik ini, naskah asli Supersemar tidak pernah orang temukan.
Saat ini ada empat versi Supersemar dari tiga instansi yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tetapi semuanya dipastikan palsu.
Melansir menpan.go.id, mantan Kepala ANRI M Asichin dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip yang ANRI selenggarakan di Jakarta, Selasa (21/5/2013), mengatakan bahwa empat versi Supersemar yang ada di ANRI semuanya palsu.
Empat versi tersebut berasal dari tiga instansi, yakni Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, Sekretariat Negara (Setneg), dan Akademi Kebangsaan.
Sampai-Sampai, arsip yang sangat krusial dalam historiografi Indonesia ini masih masuk ke dalam Daftar Pencarian Arsip (DPA).
Mantan Kepala ANRI M. Asichin mengatakan, pencarian naskah asli Supersemar mulai gencar pada 2000.
Pada 7 Maret 2000, Kepala ANRI menemui Sekretaris Jenderal MPR RI, Umar Basalim. Hal ini merujuk pada informasi saat itu bahwa naskah asli telah diserahkan ke Ketua MPRS tahun 1966.
“Sebab, menurut informasi saat itu, naskah Supersemar telah Amir Machmud (salah satu perwira tinggi saksi kunci penandatanganan Supersemar) serahkan kepada Ketua MPRS tahun 1966 yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan TAP MPRS tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI,” ujar Asichin pada awal Maret 2016.
Ternyata naskah asli tidak ada pada Umar atau pada bank data MPR RI. Usaha berlanjut, pada 8-10 Maret 2000, ada mewawancara Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution, Ketua DPR RI Akbar Tanjung, hingga Jenderal (purn) Faisal Tanjung.
ANRI juga mengirim surat ke DPR RI terkait pemanggilan Soeharto Jenderal (Purn) M. Jusuf untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan Supersemar. Namun, keduanya tak pernah datang untuk memberikan penjelasan karena alasan kesehatan. Kemudian, ANRI mewawancarai salah seorang putri Soekarno pada 26 April 2007, yakni Sukmawati Soekarnoputri, sama juga tidak ada hasil.
Pada 2001, ANRI membentuk Tim Khusus Penelusuran Arsip Supersemar. Tim ini memiliki tugas melakukan pendekatan personal kepada orang-orang yang diduga mengetahui persis keberadaan Supersemar.
Sampai saat ini, belum ada yang menemukan naskah asi tersebut.
Naskah asli harus terus kita cari karena penting untuk kepastian sejarah dan warisan sejarah kepada generasi penerus.
Kepala ANRI Mustari Irawan mengatakan, ada tiga hal yang membuat surat tersebut penting untuk kita temukan.
“Pertama, yakni dari segi struktur dan bentuk fisik. Supersemar itu satu atau dua lembar? Kalau satu lembar seperti apa? Kalau dua, ya seperti apa?” ujar Mustari (10/3/2016).
Kedua, soal konten. Seperti yang kita ketahui saat ini bahwa surat itu merupakan perintah Soekarno kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Letjend Soeharto untuk mengamaankann negara dan menjaga keselamatan serta kewibawaan Presiden. Namun, redaksional surat itu masih juga menjadi misteri.
Ketiga, dari sisi konteks. Di satu sisi, surat tersebut Soekarno sebut dalam pidato pada 17 Agustus 1966, bukan merupakan transfer of authority. Namun, faktanya surat itu menjadi dasar Soeharto mengambilalih kursi kepresidenan.
“Banyak yang bilang Supersemar alat kudeta. Jika ada yang asli, semuanya kan tentu bisa terjawab,” ujar Mustari.*** (O Gozali)