SERAYUNEWS— Pemilu 2024 menurut Presiden Joko Widodo menjadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia bahkan dunia.
“Pemilu dan Pilkada 2024 ini akan menjadi pesta demokrasi terbesar, terbesar dalam sejarah pemilu di Indonesia dan mungkin terbesar di dunia,” kata Jokowi (17/12/2024)
Sangat wajar jika kemudian pemerimtah mengalokasikan dana Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 triliun. Jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilu sebelumnya, yakni Rp25,59 triliun pada 2019 dan Rp15,62 triliun pada 2014.
Lebih dari 200 juta pemilih di dalam negeri dan 1,75 juta diaspora Indonesia akan ikut berpartisipasi dalam pemilu kali ini. Pemilu ini pelaksanaannya serentak antara Pilpres dan legislatif. Tercatat ada daftar 9.917 calon DPR RI dan DPD RI sebanyak 668 calon. Belum termasuk pemilihan DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II.
Kesemuanya cukup menggambarkan betapa besarnya pesta demokrasi 2024. Bahkan, demi sebuah pesta yang mahal, nyawa pun melayang di hadapan demokrasi.
Data terbaru menunjukan sekitar 894 penyelenggara meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Selain itu, saat menjelang penetapan pemenang Pilpres 2019 yang lalu, sekitar 6 orang meninggal dunia pasca unjuk rasa di depan Bawaslu RI. Pesta yang seharusnya berakhir dengan riang gembira, tapi menelan korban jiwa.
Jeffrey Winters, seorang analis politik Amerika, menilai (2013) Indonesia adalah ladang basah para oligarki untuk tumbuh dan berkembang. Di Indonesia tak ada aturan terkait melarang pihak oligarki untuk menjalankan aksinya. Hal itu karena negara demokrasi menjamin siapa saja dengan jalan apa saja untuk berkuasa, sekalipun dengan material.
Hadiz dan Robison (2013) mengatakan bahwa meskipun terjadi konsolidasi demokrasi sejak 1998, pemerintahan pasca-otoriter masih dikuasai oleh kaum oligarki dan predator kekuatan yang telah menentukan politik Indonesia selama beberapa dekade. Tak hanya itu, pandangan serupa mengatakan bahwa politik Indonesia kontemporer didominasi oleh kartel partai, di mana berbagai partai politik berkolusi untuk menikmati rampasan kekuasaan (Slater 2004; Ambardi 2008).
Dengan pendapat dia ahli tersebut, bisa kita simpulkan pesta demokrasi sejak era Orba sampai sekarang tetap sama, kaum oligarki.
John Pemberton, seorang antropolog dari Colombia University, menjelaskan (1986) bahwa istilah pesta demokrasi itu untuk pertama kalinya Presiden Soeharto populerkan pada Pemilihan Umum 1982.
Apa yang Soeharto ucapkan kemudian Jokowi ulang, seolah memperkuat bukti. Sekali lagi, ini adalah pasta kaum oligarki.*** (O Gozali)