SERAYUNEWS– Pada 2 Maret 1922, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menangkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Rencananya akan mereka akan membuang Tan Malakan ke Kupang. Keputusan berubah menjadi externering atau pengasingan ke Negeri Belanda. Mulai dari tanggal ițulah pengembaraannya bermula.
Tan Malaka, pahlawan nasional yang dibunuh bangsanya sendiri ini awalnya tidak minat pada politik. Akan tapi setelah melihat nasib kuli kontrak di Deli, ia insaf akan kejamnya kolonialisme. Akhirnya ia mengabdi menjadi guru anak-anak kuli kontrak perusahaan tembakau di Deli. Mulailah perjuangannya untuk Indonesia.
Sampai akhirnya pada 2 Maret 1922, Pemerintah Hindia Belanda menangkap lelaki bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka ini.
Dari Belanda, Tan Malaka berpindah ke Soviet. Pada Desember 1923, Tan malaka pindah ke Canton. Lalu, ia pindah ke Manila pada 1925 dan kemudian ke Singapura pada 1926.
Harry A Poeze yang puluhan tahun meneliti Tan Malaka menyebut Tan setidaknya memiliki 14 karakter selama 20 tahun pengembaraannya di berbagai negara.
Ketika memasuki Manila dan Hongkong pada tahun 1927, menurutnya, Tan mengubah nama menjadi Elias Fuente. Saat memasuki Hongkong dari Shanghai pada 1932, ia menggunakan nama Oong Soong Lee.
Kembali ke Indonesia dari Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta pada 1942, Tan memakai nama Ramli Husein. Sementara itu, saat membantu romusha di Bayah, Banten, ia menggunakan nama Ilyas Husein.
Nama lain yang pernah digunakan yakni, Cheng Kun, Tat, Elisoe, Howard Law. Ia menggunakan nama Haji Hasan dan Nadir dalam surat-suratnya serta sejumlah nama lain.
Tan Malaka menulis puluhan buku. Satu di antaranya adalah buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Pemikiran pertama menggagas Indonesia dalam bentuk republik ini, membuat Muhammad Yamin menyematkan gelar Bapak Republik Indonesia untuk Tan.
Penyamaran yang Tan lakukan karena kejaran polisi rahasia di berbagai negara, tak terlepas dari ide untuk memerdekan bangsanya serta bangsa-bangsa yang pernah Tan tinggali.
Usai proklamasi, Tan menolak keras berunding dengan Belanda yang kembali ingin berkuasa di Indonesia. Hal ini membuatnya berbeda pendapat dengan para pemimpin Indonesia saat itu. Tan juga mengkritik tentara.
Namun, kritik itu mendapat tanggapan berlebihan dengan menangkap Tan. Salah satu kesatuan di bawah pimpinan Letda Sukotjo malah mengambil inisiatif lebih jauh. Tan mereka bawa untuk kemudian ditembak pada 21 Februari 1949.
Bung Hatta kemudian memang memecat Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerachmad sebagai Komandan Brigade Kediri karena peristiwa tersebut. Beberapa tahun kemudian, Bung Karno menyematkan gelar pahlawan pada 1963.
Merdeka 100 persen merupakan inti perjuangan Tan Malaka. Merdeka 100% (1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.
Tokoh yang acap kali ditulis miring oleh sejarah bangsa ini tetap lantang beteriak seperti yang pernah dia tulis, “Ingatlah! hahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”*** (O Gozali)