SERAYUNEWS– Sejarah mencatat, Tan Malaka dan Soedirman pernah berdampingan dan berdekatan. Mereka adalah dua orang legenda Indonesia.
Satunya, seorang bara-api revolusioner, yang lain adalah gerilyawan taktis. Pertemuan antara kedua legenda ini terjadi, Tan Malaka dan sang Jenderal, Soedirman.
Sepintas, dari spektrum politik, menyandingkan kedua sosok tersebut tidaklah estetik. Tidak pas. Tidak relate. Namun, ternyata mereka pernah dekat, pernah serasi, dan bersama-sama berjuang menyelesaikan tugas revolusi bangsa.
Tan malaka dan Soedirman akhirnya bertemu. Mereka bersepakat dan menentang politik diplomasi. Mereka memilih menjadi oposisi pemerintah. Harry A. Poeze, mengatakan bahwa sosok Tan-Soedirman mempunyai banyak persamaan pendapat dan ideologi.
Adam Malik membenarkannya, dalam buku “Mengabdi pada Republik Jilid II”, ia menyebut mereka berdua adalah Dwi Tunggal. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh tersebut seperti Soekarno-hatta atau Sjahrir-Amir Sjarifuddin.
Tan Malaka mendirikan persatuan perjuangan di Purwokerto. Ia mengagasnya untuk menentang politik diplomasi pemerintah. Bagi Tan Melaka, kemerdekaan harus direbut bukan diberikan.
Menurutnya, kaum pribumi adalah pemilik dari Tanah Airn. Jadi, tak pantas jika harus menghamba kepada pihak kolonial untuk meminta kemerdekaan. Perundingan baru bisa terjadi setelah kemerdekaan di raih.
Akhirnya, kongres di Purwokerto terlaksana. Gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Purwokerto Banyumas menjadi saksi. Pada tahun 1946, gedung RRI Purwokerto berfungsi sebagai gedung pertemuan sekaligus gedung bioskop City Theater terkenal dengan nama gedung Societeit.
Purwokerto menyala, orang-orang berduyun-duyun menyaksikan tamu yang akan datang. Societeit penuh oleh wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan laskar. Rakyat berdesakan dan antusias.
Tan Malaka naik podium, ia menyampaikan tuntutan merdeka 100 persendirian. Soedirman, sang guru sekaligus sang jenderal sepakat dengan tuntutan Tan Malaka.
Ia juga ikut meledak dalam gegap-gemilangnya kongres persatuan perjuangan, ”Lebih baik dibom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen.”
Kongres yang berlangsung dari 3 – 5 Januari 1946 memberikan sumbangan besar untuk menyuburkan ide perang rakyat semesta demi merebut kemerdekaan 100 persen.
Setelah pertemuan Purwokerto, deklarasi Persatuan Perjuangan terjadi di Balai Agung Solo, Jawa Tengah, pada 15 Januari 1946. ***(Kalingga Zaman)