Program subsidi pupuk untuk para petani merupakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah guna pengentasan kemiskinan yang ada di kalangan para petani dengan cara membantu meringankan biaya produksi. Subsidi pupuk yang dilakukan ini tentunya bertujuan untuk merespon kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar internasional dan penurunan tingkat keuntungan usaha tani. Selain itu, kebijakan pupuk bersubsidi ini tentunya bertujuan untuk menyediakan pupuk dengan harga yang terjangkau bagi para petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 2 hektar. Sistem pengalokasian pupuk bersubsidi yang diterapkan hingga saat ini adalah masih dalam bentuk subsidi harga pupuk, dimana petani membayar harga yang ditetapkan oleh pemerintah pada HET yang jauh lebih murah dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP)’. Kemudian, penerapan pupuk bersubsidi ini hanya diberikan kepada para petani yang sudah memiliki kartu tani. Kartu tani merupakan suatu basis data yang berisi data dan informasi terkait dengan identitas petani (nama, Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat), luas lahan, komoditas, alokasi pupuk bersubsidi, kebutuhan sarana produksi pertanian (saprotan), dan hasil panen.
Kebijakan penebusan pupuk subsidi dengan kartu tani adalah salah satu upaya transparansi dan transparansi dan akuntabilitas penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani. Selain itu juga penerapan kartu tani sebagai alat penebusan pupuk bersubsidi yang dilakukan petani di kios pengecer resmi bermanfaat untuk menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi yang tepat sasaran. Mekanisme kerja Kartu Tani ini diawali oleh aktivasi kartu yang dilakukan bank penyalur, dimana dalam kartu tani di input jumlah kuota pupuk bersubsidi (Urea, NPK, SP-36, Organik) yang tentunya berhak diterima oleh masing masing petani yang telah memiliki kartu tani. Kuota pupuk tersebut didasarkan pada luas lahan yang ada di RDKK. Kuota pupuk bersubsidi yang berhak ditebus petani didasarkan pada luas lahan yang di input pada e-RDKK. Data tersebut diinput oleh penyuluh, kemudian bank menerbitkan kartu, dan selanjutnya petani menebus pupuk di kios yang ditunjuk sesuai e-RDKK. Kewajiban lain Koordinator Penyuluh dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah mensosialisasikan kartu tani kepada petani dan kios distributor (Mufidah & Prabawati, 2017).
Dengan adanya kartu tani yang terintegrasi secara daring, pemerintah tentunya memantau hasil produksi petani serta distribusi pupuk. Selain itu, petani akan mendapat kepastian pupuk bersubsidi, melatih menabung dan kemudahan menjual produknya. Kios pupuk mendapatkan tambahan penghasilan sebagai BRI-link, sedangkan pemerintah berupaya mendorong dan mensosialisasikan program ini. Akan tetapi terkadang kebijakan pupuk bersubsidi tidak selalu berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Moko, Suwarto, & Utama (2017) yang menemukan adanya permasalahan yang terjadi terkait dengan penyaluran pupuk bersubsidi, yaitu kelangkaan pupuk, harga yang fluktuatif, penggunaan pupuk oleh petani yang overdosis. Selain itu juga, ada juga penelitian Moko et al (2017) sering kali terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi akibat ketimpangan antara ketersediaan pupuk di tingkat pengecer maupun penjual serta distributor. Selain itu juga terjadinya kelangkaan pupuk yang disebabkan oleh kebutuhan pupuk yang tinggi, sedangkan ketersedian di tingkat pengecer atau penjual serta distributor cukup rendah, bahkan ketika sedang dibutuhkan tidak tersedia yang pada akhirnya mengakibatkan harga pupuk yang semakin mahal. Selain itu, terdapat juga permasalahan yang terjadi pada implementasi kartu tani. Berbagai masalah yang muncul antara lain adalah petani yang merasa kesulitan dalam menggunakan fasilitas kartu tani ini karena mereka harus menyetorkan uang deposit terlebih dahulu melalui bank sebelum dapat menggunakan kartu tani tersebut. Selain itu juga ditemukan berbagai permasalahan seperti kendala waktu, biaya, transportasi serta kebutuhan pupuk yang tidak terlalu besar.
Pada fase ini pokok permasalah bermuara, dimana berawal dari kurangnya komunikasi yang mengakibatkan ketidakpahaman para penerima manfaat kartu tani (petani) karena penjelasan yang terkadang tidak menyeluruh sehingga terdapat beberapa petani yang masih belum paham tentang program tersebut. Kegiatan sosialisasi kartu tani yang dilakukan oleh pihak pemerintah juga dirasa belum maksimal sehingga dalam pelaksanaanya menjadi tidak efektif dan kurang memberikan manfaat yang nyata bagi petani itu sendiri. Keputusan petani terhadap inovasi baru termasuk kartu tani ini tentunya memerlukan proses yang berulang dan membutuhkan periode waktu tertentu. Faktor lain penyebab permasalahan implementasi kartu tani yang rendah adalah kesiapan infrastruktur yang belum memadai. Seperti misalnya mesin EDC yang sering error serta gangguan sinyal merupakan masalah yang sering dijumpai di lapangan.
Menyiasati hal tersebut, banyak kios penyalur yang akhirnya melayani pemilik kartu tani secara manual dan melayani pembayaran secara cash. Kemudian, permasalahan selanjutnya adalah terkait dengan kondisi sosial budaya, dan jarak rumah petani dengan lokasi bank. Beberapa petani pemegang kartu tani juga menitipkan kartu dan nomor PIN-nya ke kios pengecer, karena petani menganggap terasa rumit apabila harus menghafal nomor PIN-nya. Tentunya edukasi terkait perbankan perlu lebih didorong agar hasil pertanian lebih bankable. Selain itu juga diperlukannya integrasi pelaksanaan sosialisasi dan promosi program kartu tani yang dapat dilakukan secara reguler, terkendali, dan tepat sasaran, sehingga baik petani atau pengecer akan memahami informasi kartu tani secara utuh.