SERAYUNEWS- Lima Anggota DPR RI Periode 2024–2029 resmi dinonaktifkan oleh partainya masing-masing. Mereka adalah Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir.
Keputusan itu muncul setelah mereka melontarkan pernyataan dan menunjukkan sikap yang dianggap melukai hati rakyat.
Gelombang kecaman publik serta aksi demonstrasi beberapa hari terakhir membuat partai mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan para kadernya dari kursi DPR RI.
Namun, publik pun mempertanyakan: apa bedanya status dinonaktifkan dan dipecat dari DPR? Apakah anggota DPR yang dinonaktifkan masih tetap menerima gaji?
Melansir berbagai sumber, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya mengenai perbedaan dinonaktifkan dan dipecat sebagai Anggota DPR, dan apa mereka masih dapat gaji?
Status anggota DPR yang dinonaktifkan berbeda dengan yang dipecat.
⦁ Dinonaktifkan berarti anggota DPR sementara waktu tidak menjalankan tugas dan kewenangan sebagai wakil rakyat hingga ada keputusan lanjutan.
⦁ Status ini setara dengan pemberhentian sementara, bukan pemecatan permanen.
Artinya, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir masih tercatat sebagai anggota DPR RI yang sah.
Mereka tetap memiliki status dewan aktif meski tidak bisa menjalankan kewenangan politiknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, istilah “penonaktifan” sebenarnya tidak diatur.
UU tersebut hanya mengenal tiga mekanisme pemberhentian anggota DPR, yaitu:
1. Pemberhentian Antarwaktu (PAW)
Terjadi jika anggota meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partainya.
2. Penggantian Antarwaktu
Keputusan ini sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik pengusung.
3. Pemberhentian Sementara
Berlaku bagi anggota yang berstatus terdakwa dalam kasus pidana umum dengan ancaman minimal lima tahun penjara atau kasus pidana khusus.
Dengan demikian, istilah “nonaktif” dalam kasus terbaru lebih mengarah pada pemberhentian sementara atas dasar pertimbangan politik partai, bukan pemecatan permanen.
Jawabannya: ya, tetap mendapat gaji. Karena masih berstatus anggota dewan aktif, mereka tetap berhak memperoleh hak keuangan sesuai peraturan.
Hal ini tertuang dalam Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang menegaskan bahwa anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap menerima hak keuangan.
Hak tersebut mencakup gaji pokok dan berbagai tunjangan, seperti:
⦁ Tunjangan keluarga (istri/suami dan anak)
⦁ Tunjangan jabatan dan kehormatan
⦁ Tunjangan komunikasi
⦁ Tunjangan beras
Aturan ini merujuk pada Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.
Berbeda dengan penonaktifan, pemecatan anggota DPR berarti pencabutan permanen status sebagai wakil rakyat. Prosesnya pun jauh lebih panjang dan melibatkan banyak pihak.
Menurut Pasal 7C UUD 1945, presiden tidak bisa membubarkan DPR, membekukan, atau memecat anggotanya. Pemecatan hanya dapat dilakukan melalui mekanisme resmi:
⦁ Usulan dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik kepada pimpinan DPR.
⦁ Rekomendasi dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melalui rapat paripurna DPR.
⦁ Peresmian pemberhentian oleh presiden setelah menerima usulan dari DPR.
Alasan pemecatan anggota DPR antara lain:
⦁ Tidak melaksanakan tugas lebih dari tiga bulan tanpa keterangan.
⦁ Melanggar sumpah jabatan dan kode etik.
⦁ Terbukti bersalah melalui putusan pengadilan dengan ancaman pidana minimal lima tahun.
⦁ Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR.
⦁ Berpindah partai atau diberhentikan dari partai politiknya.
Perbedaan utama antara dinonaktifkan dan dipecat dari DPR terletak pada status dan hak keuangan. Anggota yang dinonaktifkan masih sah sebagai wakil rakyat dan tetap menerima gaji serta tunjangan.
Sebaliknya, pemecatan berarti kehilangan status permanen sebagai anggota DPR melalui mekanisme panjang yang melibatkan partai, DPR, hingga presiden.
Kasus Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir menjadi contoh bagaimana partai menggunakan langkah penonaktifan sebagai respons cepat atas tekanan publik, sembari menunggu keputusan politik lebih lanjut.