
SERAYUNEWS – Kisruh dualisme kepengurusan antara Akta Nomor 5 dan Akta Nomor 6 di tubuh Yayasan Pembudi Darma (Pemda) terus merembet ke berbagai unit sekolah di bawahnya. Dampaknya bukan hanya menimbulkan ketidaknyamanan bagi guru dan murid, tetapi juga membuat sistem administrasi vital, termasuk e-Rapor dan Dapodik mengalami kelumpuhan.
Adapun saat ini tiga sekolah yang bernaung di bawah yayasan yakni, SMP Pemda Kesugihan 1, SMP Pemda Kesugihan 2 dan SMP Pemda Adipala. Kepala sekolah, operator, hingga penasihat hukum membenarkan kondisi sekolah yang semakin kacau.
Kepala SMP Pemda Kesugihan 2, Sri Kusnun, mengungkapkan bahwa sejak konflik kepengurusan memanas, sekolahnya hampir selalu kedatangan orang-orang dari kubu Akta 6.
Bahkan pernah terjadi insiden salah satu guru Bahasa Inggris izin keluar kelas, tetapi kelasnya tiba-tiba dimasuki orang luar. Sri menilai kondisi seperti ini membuat suasana KBM tidak kondusif.
“Anak-anak sampai ketakutan. Seharusnya jika guru berhalangan, lapor ke guru piket, bukan digantikan oleh orang luar,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
Sri Kusnun juga mengungkapkan bahwa sejumlah guru dan tenaga kependidikan mendadak dinonaktifkan oleh kubu Akta 6. Akibatnya, beberapa akun penting ikut terblokir.
“Guru yang sedang proses sertifikasi dan baru lulus PPG itu sangat dirugikan. Mereka harus mengisi data di Dapodik, tapi tidak bisa karena akunnya diblokir,” katanya.
Tidak hanya Dapodik, sistem e-Rapor juga terancam bermasalah. “Bahkan, e-Rapor pun terancam bermasalah,” tambahnya.
Di sekolahnya terdapat sekitar 25 guru dan pegawai tenaga kependidikan yang terdampak langsung dari pemblokiran dan perubahan struktur sepihak tersebut.
Sri Kusnun menegaskan dirinya tetap masuk sekolah seperti biasa meski kubu Akta 6 menyatakan bahwa ia diberhentikan. “Saya tetap berangkat. Saya meyakini Akta 5 masih sah karena proses hukumnya belum selesai,” jelasnya.
Dampak terbesar dirasakan bagian operator. Arief Sugianto, tenaga pendidikan yang juga operator kedua, mengaku sistem administrasi sekolah kini nyaris lumpuh.
“Sekarang e-Rapor diblokir, tidak bisa dibuka. Selama akhir tes ini, kami bingung karena tidak bisa input nilai,” ujarnya.
Biasanya sebelum input nilai, operator mendata alamat siswa, terutama kelas 7, dengan mencocokkan data Kartu Keluarga (KK). Namun server tidak bisa diakses.
“Server e-Rapor harusnya kami cocokkan lagi untuk perbaikan data, tapi selama ini tidak bisa,” tambahnya.
Masalah lebih serius terlihat pada sistem nasional Dapodik. “Data seluruh sekolah, dari guru, karyawan, sampai siswa, sekarang tidak bisa dibuka sama sekali,” jelas Arief.
Karena sistem diblokir, operator terpaksa mengerjakan pendataan secara manual. “Untuk sementara ya kami simpan manual dulu. Belum bisa dilaporkan,” katanya.
Arief memberi peringatan bahwa situasi ini tidak dapat dibiarkan karena batas akhir pelaporan Dapodik sudah dekat. “Nanti dari pusat bertanya, ‘Ini sekolah kok tidak melaporkan? Ada apa?’,” ujarnya.
Ia menegaskan, keterlambatan Dapodik bisa berdampak pada validasi data siswa, administrasi guru, bahkan bantuan operasional sekolah.
Penasihat Hukum Yayasan Pembudi Darma Akta No. 5, Fery Handika, membeberkan rangkaian kejanggalan yang menurutnya menjadi sumber polemik besar di tubuh yayasan. Semua bermula pada Januari lalu, ketika ia bertemu dengan Wiweko dan Mahmud Dwijo Wahyono untuk membahas rencana reorganisasi dan pengaktifan kembali yayasan yang sebelumnya terblokir.
Menurutnya, pemblokiran yayasan bukan disebabkan masalah pidana, melainkan murni administrasi. “Seperti kalau tidak melapor pajak, pasti terblokir. Yayasan ini dianggap tidak aktif karena tidak melaporkan kegiatan,” jelasnya.
Upaya pengaktifan pun dilakukan dengan melapor ke AHU, dan pada 20 Januari, blokir resmi dicabut. Namun, situasi berubah drastis ketika muncul kabar bahwa pada 20 Mei telah dilakukan rapat pembina yang menghasilkan perubahan akta yayasan.
“Kami tidak mengetahui apa-apa. Tiba-tiba muncul surat kuasa, berita acara, dan akta perubahan. Per 1 Agustus, salinan akta itu sudah disebarkan ke sekolah-sekolah,” katanya.
Fery menyebut, anggota pembina yayasan, Teguh mengaku tidak pernah menghadiri rapat maupun memberi persetujuan apa pun. Ia juga tidak pernah menerima undangan rapat, padahal menurut akta nomor 5, undangan harus dikirim minimal 7 hari sebelum rapat.
Teguh juga disebut tidak pernah menerima salinan berita acara. Bahkan, notaris yang menangani perubahan akta dinilai tidak memberikan akses dokumen yang seharusnya bisa diakses pembina.
Keyakinan penasihat hukum semakin kuat setelah mengumpulkan sedikitnya 25 keterangan saksi, mulai dari kepala sekolah, staf TU, guru-guru, hingga juru kunci sekolah.
Menurut mereka, pada 20 Mei 2025, dari pukul 09.00 hingga 15.00, tidak ada kegiatan rapat yayasan di SMP Pemda 2 Kesugihan seperti yang tertulis dalam berita acara.
“Mereka menulis rapat dimulai jam 9 dan selesai jam 11. Silakan tunjukkan buktinya foto, video, rekaman, tidak ada,” ujarnya.
Lebih jauh, Fery memastikan Teguh tidak pernah menandatangani berita acara apa pun, padahal dalam dokumen tertulis tanda tangannya ada.
Fery juga menyoroti komposisi pembina dalam Akta 6 yang dinilai tidak mencerminkan asal-usul yayasan. Yayasan yang didirikan oleh tiga sekolah, SMP Pemda Adipala, SMP Pemda Kesugihan I, dan SMP Pemda Kesugihan 2, seharusnya diisi unsur ketiga pendiri. Namun, dari 14 nama, 13 di antaranya berasal dari satu kubu Akta 06.
“Hanya Pak Teguh yang tidak bisa disingkirkan karena statusnya pembina. Pembina hanya bisa keluar jika mengundurkan diri, meninggal, atau melalui putusan pengadilan,” tegasnya.
Pihak yayasan kubu Akta 5 telah mengirim surat resmi ke dinas pendidikan agar tidak mengubah akun Dapodik, data operator, hingga pervaliasi sebelum perkara selesai. Namun, tidak ada balasan. “Tahu-tahu akun sekolah sudah diganti, guru-guru dinonaktifkan,” ungkapnya.
Hal ini berpotensi mengganggu administrasi siswa, bahkan membuat rapor mereka terancam tidak terbit.
Menurut Fery, upaya mediasi Polsek Kesugihan pun tidak berjalan mulus karena pihak Akta 6 dua kali mangkir dari pertemuan.
Menurut Fery, para guru yang tetap bertahan patut diapresiasi. “Beberapa dipecat, tapi mereka tetap mengajar demi siswa,” katanya.
Hingga kini belum pernah ada serah terima jabatan (sertijab) atau serah terima aset, padahal hal itu wajib dilakukan jika ada pergantian kepengurusan.
“Yang terjadi sekarang seperti pengambilalihan tiba-tiba tanpa mekanisme yang benar,” tegasnya.
Tim hukum telah mengajukan permohonan audiensi ke Komisi D DPRD Cilacap dan Bupati Cilacap untuk meminta dukungan penyelesaian. Mereka juga terus berkoordinasi dengan kepolisian.
“Kami ingin masalah ini diselesaikan secara aturan. Selama Akta 6 belum sah dan belum ada sertijab, kami minta guru dan pengurus bertahan,” tutup Fery.