SERAYUNEWS – Belum lama terjadi polemik aturan pengeras suara di masjid antara Gus Miftah dengan Kementerian Agama. Menjadi menarik untuk mencari tahu, asal mula penggunaan pengeras suara di masjid.
Seperti kebiasaan orang Indonesia yang sering menyebut merk produk terkenal sebagai pengganti benda. Orang Indonesia juga menyebut pengeras suara sebagai toa.
Ini sebenarnya merek dagang dari perusahaan alat elektronik asal Jepang, Toa. Berdiri pada 1934, Toa masuk ke Indonesia pada 1960-an. Lalu, menjadi alat pengeras suara paling sohor di desa dan kota. Itu mengalahkan merek lainnya yang lebih dulu muncul.
Nama perusahaan itu adalah Toa Electric Manufacturing Company. Berdiri di Kobe pada 1 September 1934. Pendirinya adalah Tsunetaro Nakatani, seorang Jepang kelahiran 10 Agustus 1890. Setelah wajib militer, pemuda yang tertarik pada fotografi itu lalu tertarik pada mikrofon dan akhirnya membuat alat pengeras suara.
“Orang-orang mendengarkan suara Sejak Toa pertama kali membuat speaker terompet pada tahun 1934,” tulis buku Electronics Buyers’ Guide (1964:31).
Setelah 1934, Toa telah berkembang menjadi perusahaan yang sangat bereputasi dan berkualitas untuk seperti pengeras suara atau klakson.
Produk dari Toa dari Jepang itu masuk ke Indonesia melalui PT Galva milik pengusaha keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja. Perusahaan itu mulanya pernah memproduksi merek Galindra dan berubah ketika serius bersama Toa.
Produk dari Toa dari Jepang itu masuk ke Indonesia melalui PT Galva milik pengusaha keturunan Tionghoa asal Bangka, Uripto Widjaja. Perusahaan itu mulanya pernah memproduksi merek Galindra dan berubah ketika serius bersama Toa.
“Mulai tahun 1960-an itu juga Galva mulai melirik usaha pemasaran produk perangkat pengeras suara merek Toa,” tulis Jacky Ambadar dkk dalam Usaha Yang Cocok Untuk Anda (2008:83) Semuanya kemudian berkembang dari sini, Toa mulai merambah Indonesia.
Namun sebenarnya, sebelum Toa masuk sudah ada masjid di Indonesia yang menggunakan pengeras suara. G.F. Pijper, seorang Belanda pengkaji Islam di Indonesia, sebenarnya telah menyaksikan kehadiran pengeras suara di masjid Indonesia jauh sebelum 1960-an.
“Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara,” tulis Kees van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid,” termuat dalam Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.
Van Dijk mengutip Studien Over de Geschiedenis van de Islam karya Pijper.
Sayangnya, Van Dijk tidak menyebut merk pengeras suara tersebut. Namun, dia memuat keterangan tentang ketidaksukaan orang Barat terhadap suara azan dari alat tersebut.
Padahal, orang Baratlah yang memperkenalkan pengeras suara ke orang-orang tempatan di Hindia Belanda, bersamaan dengan masuknya jaringan listrik ke Hindia Belanda.
Setelah merdeka, perdebatan toa di masjid terus berlanjut. Debat itu muncul pada 1970-an.
“Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya,” protes seorang warga Jakarta, termuat di Ekspres, 22 Agustus 1970.
Perdebatan ini terus berlanjut sampai kini. Pada 2012, Wakil Presiden RI ke-11 Boediono pernah menuai kecaman ketika dia menyarankan agar volume azan dibatasi.
Pada 2018, perempuan Budha di Tanjung Balai Sumatera Utara, Meiliana, dipenjara gara-gara menyebut suara azan bikin sakit telinga. Awal 2021, ada selebritis Zaskia Mecca mendapat kecaman secara online gara-gara mengkritik suara pengeras suara saat Ramadan.
Masih di tahun 2021 ţepatnya pada bulan Mei, gerombolan orang marah menggeruduk perumahan mewah di Jakarta setelah seorang warga meminta masjid lokal mengarahkan pengeras suaranya menjauh dari rumahnya. Polisi dan tentara mengamankan situasi, seorang pria meminta maaf via media sosial untuk memadamkan kemarahan.
Media asing AFP bahkan secara khusus menyoroti hal ini. Melalui artikel bertajuk Piety or Noise Nuisance? Indonesia Tackles Call to Prayer Volume Backlash, outlet berita internasional yang bermarkas di Paris itu memuat dampak kesehatan seorang muslimah akibat terlalu kerasnya suara azan (15/10/2021)
AFP mengutip pandangan pengamat dari UIN Syarif Hidayatullah, Ali Munhanif. Warga Indonesia biasanya marah terhadap komplain soal pengeras suara masjid yang biasa untuk azan. Soalnya, mereka salah paham, mereka mengira pengumuman via speaker masjid adalah syarat keagamaan ketimbang ekspresi budaya.
Salah paham speaker masjid seolah menjadi syarat keagamaan itu juga pernah Van Dijk katakan. Toa seolah menjadi wajib menghiasi masjid.
“Tidak seperti perangkat jam, pengeras suara menjadi perlengkapan wajib. Bentuk dan tempat pemasangannya menjadi ciri khas masjid di seluruh Indonesia, seperti di kawasan-kawasan Islam yang lain,” tulis Kees van Dijk.
Ada sekitar 750.000 masjid di seluruh Indonesia, setiap masjid memiliki setidaknya selusin pengeras suara eksternal yang mengumandangkan azan lima kali sehari.
Soal Toa Gus Dur pernah berkelakar agama Budha merasa paling dekat dengan Tuhannya karena memanggil Tuhan dengan sebutan Om dan Kristen merasa lebih dekat, tidak sekedar Om tetapi Bapak. Gus Dur merasa agamanya paling jauh dengan Tuhan.
“Lah gimana tidak, wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai toa,” kata Gus Dur sambil tertawa.*** (O Gozali)