SERAYUNEWS— Sidang Komite HAM PBB di Jenewa pada 11- 12 Maret 2024 kembali menyoroti Papua. Seakan tak pernah selesai, rutinitas isu yang harus ditanggung entah sampai kapan.
Kali ini, sidang mengangkat soal isu militerisasi dan pelanggaran HAM di Papua. Yang mengangkat dua anggota Komite, yakni Gomez Martinez dan Ndiaye.
Pertanyaan soal kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, termasuk pertanyaan spesifik mengenai kebebasan berserikat dalam melaksanakan aksi damai menyuarakan aspirasi tentang hak menentukan nasib sendiri.
Seperti biasa Delegasi Pemerintah Indonesia merespons pertanyaan ini dengan jawaban mengenai otonomi khusus Papua yang berfokus pada pendekatan pendanaan. Mereka mengklaim itu sebagai upaya untuk memperkuat otonomi khusus Papua.
Delegasi Pemerintah Indonesia juga membantah dan sama sekali tidak mau mengakui adanya militerisasi di Papua.
“Keberadaan militer hanya untuk mendukung kedaulatan, sesuai dengan UU TNI,” kata perwakilan RI.
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Hak-hak Sipol dalam Siaran Persnya pada 14 Maret 2024 menilai Pemerintah selalu menjawab dengan belindunt pada hal-hal yang bersifat prosedural bukan substansial.
Memang Persoalan HAM di Papua hingga kini seperti tak berujung. Setiap tahun selalu saja ada insiden dan laporan terkait kekerasan bersenjata oleh oknum aparat keamanan. Sekalipun rakyat telah menyuarakan dengan berbagai cara, bahkan ganti presiden, persoalan HAM masih menjadi catatan kelam.
Bung Hatta menolak Papua sebagai bagian Indonesia. Selain berbeda etnis, dia mengkhawatirkan Indonesia akan mendapat cap negara imperialis.
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.
Pengamat politik, Rocky Gerung, membeberkan relevansi prediksi Hatta dengan kondisi saat ini.
“Bukan karena kita tak ingin Papua itu menjadi bagian dari NKRI, [tapi] karena Hatta mengerti bahwa Papua itu bukan bagian dari Melayu, dia bagian dari Melanesia. Jadi, Hatta dari awal bisa melihat di masa depan Papua itu ini akan jadi problem, padahal itu 70 tahun lalu,” kata Rocky di dalam sebuah webinar yang digelar oleh LP3ES (3/12/2021).
Soal mengapa Hatta mampu membaca masa depan Papua, kata Rocky, karena wakil presiden kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, tersebut rajin berkontemplasi tentang kerumitan berbangsa dan bernegara serta ke arah mana bangsa ini akan melaju.
“Hatta mengerti bahwa kemampuan bangsa Indonesia untuk menghasilkan persatuan sering kali mengandalkan ambisi, bukan pada kondisi. Hatta melihat dengan cermat bahwa Papua adalah entitas yang berbeda dan karena itu harus dihormati kalau Papua tidak perlu dimasukkan di dalam naskah kemerdekaan,” jelas Rocky.
Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara di sidang tersebut. Papua tetap dimasukkan dalam wilayah Indonesia.
Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Hatta menyampaikan ha ini kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948.
Sikap Hatta juga tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag,
Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini. Prediksi Hatta benar adanya.*** (O Gozali)