SERAYUNEWS – Bulan Oktober ini sedang ramai pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) 2023 untuk siswa SD. Kegiatan ini akan diikuti oleh siswa sekolah dasar (SD) kelas 5 yang dipilih secara acak oleh Pemerintah. Peraturan Kepala BSKAP Kemendikbudristek Nomor 015/H/KP/2023 tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Asesmen Nasional Tahun 2023, Asesmen Nasional yang kemudian disingkat sebagai AN merupakan salah satu evaluasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pertanyaannya kemudian, apakah AN bisa berdampak langsung bagi peningkatan mutu
Pendidikan. Sekadar catatan, laporan World Bank Education Global Practice (2019) mengejutkan kita semua, bahwa prestasi pendidikan kita jauh dibawah Malaysia, Brunei dan Vietnam. Bahkan Vietnam meraih skor 525, mengungguli Hongkong, dan Korea Selatan, padahal pendapatan per kapita Vietnam separuh dari Indonesia, yakni 5.668 dollar AS. Jika berdasarkan pendapatan per kapita tersebut, Vietnam hanya dapat meraih skor 394 pada tes PISA (Programme for International Student Assesment), sebaliknya Indonesia dengan pendapatan perkapita 10.385 dollar AS diperkirakan dapat meraih skor 422 yang relatif lebih tingggi. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa Indonesia hanya meraih skor 403. Jika dilihat dari skala ekonomi dan besaran anggaran pendidikan, yang mencapai 20 persen dari APBN, seharusnya Indonesia mampu meraih skor lebih tinggi dari Vietnam (Kompas, 16/03/2018).
Lantas setelah itu apakah ada peningkatan mutu pendidikan? Jawabnya Tidak. Pada Januari 2023, Nadiem Makarim meminta maaf kalau skor PISA tidak bisa membaik (Media Indonesia 25/01/23). Kinerja buruk ini membawa seorang pengamat pendidikan Ki Darmaningtyas berkesimpulan bahwa Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan paling buruk sepanjang sejarah Indoesia berdiri. “Tidak tahu pendidikan dan tidak mau mencari masukan dari orangorang yang tahu tentang pendidikan…” (Pikiran Rakyat 28/11/2022).
Jika sudah seperti ini harus diakui, bahwa AN tidak berpengaruh banyak pada peningkatan mutu pendidikan kita. Telah ditetapkan AN dilaksanakan dengan tiga instrumen, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) Literasi dan Numerasi, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Jika kita merujuk pada Finlandia, negara yang terbaik sistem pendidikannya, justru mereka tidak lagi menggunakan instrumen nilai literasi dan numerasi (Jelita BBPMP Jatim, 27/09/22). Lebih dari itu, semangat yang dibawa melalui AN tetap bernafaskan tes atau ujian.
Hanya nama saja yang diganti dari UN (Ujian Nasional) menjadi AN (Asesmen Nasional),
materinya tetap sama bagi siswa yaitu lembar soal yang harus dijawab. Wajar jika kemudian banyak guru dan orang tua kebingunan dengan tujuan AN. Kebijakan Pendidikan Finlaidia menganut tanpa tes. Tidak ada ujian nasional sampai siswa menyelesaikan sekolah menengah Pendidikan mengikuti materilulasi untuk ujian masuk ke perguruan tinggi. Pendidikan di Indonesia selalu menggunakan ujian evaluasi, misalnya ujian harian, ujian tengah semester dan sebagainya.
Sangat jelas, AN yang dilakukan tetap membawa mental tradisional Pendidikan yang kolot dan sudah tertinggal jauh dibanding negara lain. Mental kolonial masih melekat dalam sistem pendidikan kita, guru adalah dewa dan murid adalah kerbau. Di Finlandia berfokus pada pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif, sedangkan sistem pendidikan Indonesia
mengutamakan pendekatan behavioristic dengan metode stimulus dan respon dan menempatkan siswa sebagai individu yang pasif. Dihari sekolah siswa di Finlandia tidak diwajibkan menggunakan seragam sekolah sementara di Indonesia bercirikan seragam sekolah, ini menjadikan mental siswa menjadi seragam sehingga sulit menerima perbedaan dalam dunia nyata. Hal lain, di Finlandia, guru harus mempunyai gelas master dan Indonesia cukup dengan gelar sarjana.
Jadi sangat wajar jika kita kemudian mempertanyakan efektivitas AN, Finlandia bisa maju
pendidikannya karena mereka memanfaatkan berbagai hasil penelitian. Di Indonesia, hasil
penelitian menumpuk jadi barang rongsokan. Belum lagi soal kurikulum. Seperti kita ketahui.
Sejak tahun 1947 sampai saat sekarang, Indonesia sudah melakukan 10 kali perubahan
kurikulum, terakhir Kemendikbudristek RI meluncurkan Kurikulum Merdeka Belajar secara resmi Februari 2022. Padahal menurut Ki Darmaningtyas, keberhasilan suatu pendidikan bergantung pada kualitas guru atau pengajar, bukan kurikulum (Suara Surabaya, 6/07/22).
Mungkin kita sampai pada sebuah kesimpulan, inilah puncak terjadinya pendidikan rusakrusakan. Tak salah jika kemudian Ki Darmaningtyas menulis buku “Pendidikan Rusak-Rusakan,” pendidikan Indonesia makin ke mari makin hilang bentuknya. Semua belum mengarah pada citacita konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan, pascareformasi pendidikan sangat rusak-rusakan akibat komersialisasi, liberalisasi dan politisasi pendidikan. pendidikan kita yang mikro adalah melahirkan manusia bervisi pendek yang memproduk segitiga kurikulum: konsolidasi keserakahan; masifikasi kekuasaan; intensifikasi kekayaan. Ketiganya memperkuat kepentingan diri-kelompoknya sambil mengubur kepentingan bangsa-nasionalnya. Kesenjangan dan ketimpangan akut jadi buktinya. Akhirnya kita jadi bertanya, kurikulum merdeka itu sebenarnya memerdekan siapa?
Sudah lama lahir asumsi bahwa kurikulum merdeka hanya akan melahirkan generasi proyek, siswa diajarkan sejak dini untuk berpikir proyek. Bisa jadi AN ini ada karena kepentingan proyek dengan menghabiskan dana BOS. Jika benar ini terjadi, maka menjadi sah anggapan bahwa belajar dipahami secara sempit sebagai pergi ke sekolah sekadar untuk memperoleh sertifikat atau ijazah. Tentu saja anggapan ini bersifat pragmatis agar lebih mudah meraih perubahan status ekononomi atau mobilitas vertikal sebagaimana berlaku dalam sistem sosial yang mengagungkan nilai-nilai bersifat material.
Merdeka Belajar bukan barang baru, sekurang-kurangnya dalam tataran teoretis. Ivan Illich pada 1970-an menelurkan konsep deschooling society. Konsep ini hendak mengatakan bersekolah tidak otomatis belajar, belajar tidak harus di sekolah. Jauh sebelum itu, Ki Hajar Dewantara, menyatakan bahwa “Setiap orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah” semuanya musnah karena Pemerintah masih melihat pendidikan dari sisi kapital yang menempatkan siswa didik sebagai barang dagangan. Akhirnya, untuk apa AN ini dilakukan jika tidak banyak merubah wajah Pendidikan kita, Pendidikan yang rusak-rusakan. (O.G. Badruszaman)