Selain kotekan, tari-tarian tradisional seperti tarian Bambangan Cakil, tari Gambyong, tari Manipur, Lenggeran, tarian jamu gendong hingga tari Srikandi Mustoko Weni juga ditampilkan pada Sapa Wani yang digelar di tengah areal persawahan kering ini. Tidak hanya itu, Sapa Wani #17 yang digelar sejak Kamis (10/10) ini juga menampilkan pelukis Bejo Supit, dan juga Budi Wibowo.
Sebagai puncak rangkaian acara pada Sabtu malam ini, digelar pertunjukan melukis yang dilakukan oleh pelukis Purbalingga, Suhadi Gembot. Uniknya, dalam pertunjukan melukisnya kali ini, dia berkolaborasi pertunjukan ebeg dan laesan. Sebelum puncak acara, juga digelar beberapa kesenian, berupa Jambelan, tari massal petani, tari Srikandi Mustoko Weni, dan juga guyon maton campur sari.
“Pada puncak acara Kita awali dengan Jambelan, semacam doa rasa syukur bahwa panen melimpah, ini diarak dari rumah RW dan dibawa ke Panggung Sapa Wani, diiringi rombongan tani, lalu ada tari massal yang menggambarkan proses bertani oleh petani sambil momong anaknya, lalu ada penampilan dan ditutup penampilan melukis Suhadi Gembot,” ujar Bambang Jos, seniman asal Cilacap yang menjadi penyelenggara ini.
Sapa Wani ini, kata dia merupakan kegiatan yang rutin digelar oleh para seniman Cilacap. Dalam penyelenggarannya, lokasi selalu berpindah-pindah. Kali ini digelar di areal persawahan, karena sekaligus digelar tradsi Jambelan sebagai ungkapan raasa syukur dari petani atas panen yang didapat.
Meskipun berada di tengah areal persawahan kering, mampu menarik ratusan warga sekitar dan Cilacap untuk menyaksikan pentas seni yang menyuguhkan budaya Indonesia ini. Tua muda berbaur menjadi satu di bawah cahaya bulan purnama.
Pada gelaran Sapa Wani, berbagai kesenian budaya Jawa dipertontonkan. Ini sebagai upaya untuk memperkenalkan sekaligus mempertegas bahwa budaya Jawa perlu untuk dilestarikan.
“Melalui kegiatan ini, kami para seniman ingin kembali mengingatkan anak muda mengenai budaya kita, generasi muda juga dipacu agar semangat berkreasi, berkreativitas dan punya keberanian jangka panjang,” katanya.
Puluhan seniman dari berbagai daerah seperti Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Solo dan lainnya ini pun turut andil dalam mbaranggawenya seniman Cilacap ini. Para pendukung kegiatan ini juga melakukannya tanpa pamrih, dari persiapan hingga malam terakhir mereka melakukannya dengan suka rela.
“Semua yang datang ini yang peduli akan seni, tanpa ada yang memerintah, membayar, semua pengisi datang sendiri, makanya namanya Sapa Wani atau dalam bahasa Indonesia ‘Siapa Berani’ ayo tampil, panitia hanya memfasilitasi panggung,” ujarnya.
Selain itu, para penikmat lukisan juga dimanjakan dengan exhibition lukisan-lukisan yang dipajang, serta foto-foto hasil karya fotografer Cilacap. Tidak hanya itu, juga ada memedi sawah dari jerami yang dibuat. Atraksi Bambu Gila menjadi penutup acara kegiatan ini.
Salah satu penampil, Klotekan Lesung Arum Sari dari Jalan Laut RT 4 RW 13 Lengkong Mertasinga, Karsih (63) mengatakan snagat antusias dengan pagelaran budaya seperti Sapa Wani ini. Untuk lebih mengenalkan budaya Indonesia kepada generasi muda.
Pasalnya, menjadi keprihatinan, karena kurangnya ketertarikan dari anak muda untuk mau belajar klothekan lesung, pun anaknya sendiri.
“Mudah-mudahan ada yang tertarik, dan mewarisi budaya ini, memang harus sering latihan terus biar jago,” katanya.
Karsih mengatakan jika tidak mengetahui secara pasti, grup klothekan lesungnya ini terbentuk. Pasalnya, terbentuk secara alami, sejak dia masih remaja, bahkan anggota tertua berusia 72 tahun.
“Sudah dari saya kecil, kalau dulu setiap ‘padang bulan’ pada mainan klothekan di depan rumah,” ujarnya.
Meski tidak pernah berlatih, sleuruh anggota yang berjumlah 9 orang ini, sudah pada mahir ketika ada yang meminta untuk menabuhnyaa. Bahkan, Lesung arum Sari ini sudah di’panggil’ kesana kemari, untuk mempertunjukan klothekan lesung.
“Sekarang sudah pada sibuk semua, jadi tidak pernah latihan, tapi kalau ada pertunjukan seperti ini, sudah pinter-pinter,” katanya.
Lesung kayu yang menjadi media klothekan ini, merupakan milik leluhurnya. Menurutnya sudah berusia ratusan tahun. Karena itu tidak akan dijualnya. (ale)