SERAYUNEWS – Sejak beberapa hari lalu di media sosial ramai soal pengrusakan penanda di tempat wisata Watu Sinom yang ada di Gerumbul Gadog, Desa Keniten, Kecamatan Kedungbanteng.
Menanggapi hal tersebut, Dinas Pemuda Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Banyumas menegaskan, bahwa Watu Sinom bukan merupakan cagar budaya.
“Di media sosial banyak yang tidak tahu, seolah-olah itu perusakan cagar budaya. Padahal itu bukan cagar budaya. Perlu kita garisbawahi sekali lagi, Watu Sinom itu bukan cagar budaya,” kata Kepala Dinas Pariwisata Banyumas, Drs. Setia Rahendra, M.Si., Jumat (7/2/2025).
Rahendra menjelaskan, setelah muncul polemik di media sosial, pihaknya langsung turun ke lokasi untuk memastikan kondisi sebenarnya. Ia pun menceritakan awal mula berdirinya lokasi wisata Watu Sinom.
“Jadi ada batu besar di Desa Keniten, karena berbagai pertimbangan, Mantan Bupati Banyumas, Mardjoko membelinya dan menjadikannya aset Pemkab Banyumas,” kata dia.
Saat itu, dinas belum menunjuk pihak tertentu untuk mengelola Watu Sinom. Sehingga ada beberapa pihak yang mengambil inisiatif, untuk mengelola dan membersihkannya.
“Perkembangan berikutnya, ada paguyuban yang meminta agar Watu Sinom menjadi cagar budaya. Menanggapi surat tersebut, dinas membentuk tim ahli untuk melakukan kajian dari berbagai aspek. Hasil kajian menunjukkan, bahwa Watu Sinom bukan termasuk cagar budaya,” ujar dia.
Terkait cerita tentang Kamandaka yang berperang di Watu Sinom, Rahendra menyatakan, tidak ada bukti yang mendukung kisah tersebut.
“Itu hanya karangan cerita. Mungkin oleh seseorang agar terlihat menarik, lalu mereka buat papan informasi dari keramik atau batu. Oleh beberapa pihak, Watu Sinom mereka jadikan tempat ritual seperti sembahyang, seolah-olah seperti makam. Hal itu kemudian mendapat reaksi dari masyarakat, sehingga terjadi pembongkaran,” katanya.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut, Pemerintah Desa (Pemdes) Keniten akhirnya menutup tempat tersebut bagi orang-orang yang hendak melakukan ritual. Termasuk aktivitas lainnya, guna mencegah hal-hal yang merugikan.
“Supaya tidak menimbulkan persoalan lebih besar lagi, saya bersama staf melakukan audiensi dengan Kecamatan. Hasil audiensi tersebut kami sampaikan sebagai saran kepada Pemerintah Desa, agar membuat surat kepada kami. Sehingga pengelolaan situs tersebut nantinya oleh desa, Pokdarwis, atau pihak lainnya,” ujarnya.