SERAYUNEWS– Keberhasilan Green Refinery di Kilang Pertamina Cilacap memroduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF), bahan bakar penerbangan yang ramah lingkungan menjadi sorotan banyak pihak.
Salah satunya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang melakukan kunjungan khusus ke Kilang Cilacap.
Rombongan BRIN bersama Kepala Pusat Riset Perilaku Ekonomi dan Sirkular, Umi Karomah Yaumidin dan perwakilan dari Hiroshima University. Manager Engineering & Development RU IV, Jefri A. Simanjuntak, menerima kedatangan mereka di ruang rapat Head Office (HO) RU IV.
Jefri memaparkan, SAF merupakan bahan bakar alternatif untuk penerbangan komersial dan memiliki beberapa kelebihan.
Di antaranya mengurangi emisi karbon, mengurangi emisi CO2 hingga 80%, danbmengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor penerbangan.
“Selain itu juga kompatibel dengan mesin pesawat terbang dan infrastruktur bahan bakar bandara yang ada,” jelasnya, Jumat (27/9/2024).
Selain dari minyak kelapa sawit, SAF juga dapat dari berbagai bahan baku, seperti minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).
“Green Refinery merupakan PSN (Proyek Strategis Nasional) dengan target kapasitas Biofuel hingga 6.000 barrel. Proyek ini merupakan unggulan dalam energi transisi, guna mewujudkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025,” kata Jefri.
Sebagai perusahaan pemimpin bidang transisi energi, Pertamina berkomitmen mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060.
“Kami terus mendorong program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs) sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina,” imbuh Jefri.
Sementara itu Kepala Pusat Riset Perilaku Ekonomi dan Sirkular BRIN, Umi Karomah Yaumidin membenarkan kunjungan ini untuk meneliti produksi SAF dari hulu ke hilir.
“Kami ingin mendapatkan pemahaman dan penjelasan lebih clear terkait pemanfaatan kelapa sawit dari produk turunannya maupun limbahnya,” urainya.
Pihaknya menyebutkan keberadaan SAF cukup potensial mendukung potensi wisata, serta penerbangan domestik dan internasional di Indonesia.
“Jika hanya mengandalkan energi yang bersumber dari fosil tentu akan kekurangan, sehingga perlu alternatif bioenergi untuk menopang aktivitas itu,” ucap Umi.
Selain itu terkait penerbangan internasional, Indonesia sampai saat ini menjadi penghasil kelapa sawit nomor satu di dunia namun minim dalam pembuatan produk nilai tambah di bidang energi.
“Kita juga tahu, peraturan terkait pengenaan bioavtur untuk maskapai penerbangan sudah diberlakukan, maka Indonesia perlu meraih potensi pasar itu,” jelas Umi.
Selanjutnya kata Umi, dari kunjungan ini pihaknya akan menerbitkan publikasi di jurnal dengan reputasi tinggi.
“Nantinya juga menjadi rekomendasi kebijakan bagi pemerintahan untuk menciptakan ekosistem investasi yang kondisif bagi penyelenggaraan ketersediaan pasokan SAF,” tutupnya.